wanita biasa, yg ingin bahagia | Cuma kumpulan kopi paste, mengikat ilmu, kalo lupa tinggal nyari =)


Senin, 31 Oktober 2011

Hukum Vaksinasi dari Enzim Babi

Bismillah … Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebagian vaksinasi atau imunisasi (seperti imunisasi polio) diduga berasal dari enzim babi. Babi jelas najis dan termasuk hewan yang haram dikonsumsi. Taruhlah jika pernyataan atau isu ini benar, lalu bagaimana hukum fikih dalam masalah ini? Karena masalah ini menjadi polemik hingga saat ini. Sampai-sampai sebagian orang enggan bahkan menyalah-nyalahkan orang yang mengambil keputusan untuk ikut imunisasi.

Baiklah ada dua kaedah terlebih dahulu yang akan kami utarakan. Lalu kami tutup dengan fatwa dari Majelis Ulama Eropa akan hal ini. Allahumma yassir wa a'in …

Memahami kaedah pertama: Istihalah

Istihalah secara bahasa memiliki dua makna. Salah satu maknanya adalah,

تغيّر الشّيء عن طبعه ووصفه

“Berubahnya sesuatu dari tabi’at asal atau sifatnya yang awal.”

Yang termasuk dalam istihalah adalah berubahnya sesuatu yang najis. Istihalah atau perubahan tadi bisa terjadi pada kondisi apa saja? Istihalah bisa terjadi pada ‘ain (zat) najis, seperti kotoran, khomr (bagi yang mengatakannya najis), dan babi. Istihalah bisa terjadi pula pada ‘ain (zat) najis yang berubah sifat-sifatnya. Bisa jadi dia berubah karena dibakar atau karena berubah menjadi cuka. Atau mungkin perubahan itu terjadi karena ada sesuatu yang suci yang bercampur dengannya. Seperti contohnya babi yang najis yang jatuh dalam garam, akhirnya menjadi garam.

Para ulama telah menyepakati bahwa apabila khomr berubah menjadi cuka dengan sendirinya (karena dibiarkan begitu saja), maka khomr tersebut menjadi suci. Namun para ulama berselisih jika khomr tadi berubah menjadi cuka melalui suatu proses tertentu.

Adapun untuk najis yang lainnya, apabila ia berubah dari bentuk asalnya, maka para ulama berselisih akan sucinya.[1]

Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad, menyatakan bahwa najis pada ‘ain (dzat) dapat suci dengan istihalah. Jika najis sudah menjadi abu, maka tidak dikatakan najis lagi. Garam (yang sudah berubah) tidak dikatakan najis lagi walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah. Misal yang lain, khomr ketika berubah menjadi cuka baik dengan sendirinya atau dengan proses tertentu dari manusia atau cara lainnya, maka itu juga dikatakan suci. Hal ini semua dikarenakan zat yang tadi ada sudah berubah. Aturan Islam pun menetapkan bahwa sifat najis jika telah hilang, maka sudah dikatakan tidak najis lagi (sudah suci).

Jadi jika tulang dan daging berubah menjadi garam, maka yang dihukumi sekarang adalah garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan tulang dan daging tadi.

Perkara semisal ini amatlah banyak. Intinya, istihalah pada zat terjadi jika sifat-sifat najis yang ada itu hilang.

Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat, najis ‘ain (zat) tidaklah dapat suci dengan cara istihalah. Jika anjing atau selainnya dilempar dalam garam, akhirnya mati dan jadi garam, maka tetap dihukumi najis. Begitu pula jika ada uap yang berasal dari api yang bahannya najis, lalu uap itu mengembun, maka tetap dihukumi najis.

Dikecualikan dalam masalah ini adalah untuk khomr, yaitu khomr yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tidak ada campur tangan. Cuka yang berasal dari khomr seperti itu dianggap suci. Alasan najisnya khomr tadi adalah karena memabukkan. Saat jadi cuka tentu tidak memabukkan lagi, maka dari itu dihukumi suci. Hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan para ulama).

Adapun jika khomr berubah menjadi cuka dengan proses tertentu misalnya ada gas yg masuk, maka ketika itu tidaklah suci.[2]

Dari perselisihan di atas, pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini adalah yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah (dengan istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.

Di antara alasannya adalah karena hukum itu berputar pada ‘illah-nya (alasan atau sebab). Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Jika sifat-sifat najis telah hilang, maka hukum najis itu sudah tidak ada. Demikianlah yang dijelaskan dalam kaedah ushuliyah,

الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ ثُبُوْتًا وَعَدَمًا.

Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Begitu sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada.

Pendapat inilah yang lebih tepat, apalagi diterapkan di zaman saat ini. Kita masih ingat bahwa minyak bumi itu asalnya dari bangkai hewan yang terpendam ribuan tahun. Padahal bangkai itu jelas najis. Jika kita katakan minyak bumi, itu najis karena berpegang pada pendapat Syafi’iyah dan Hambali, maka jadi problema untuk saat ini.

Jika seseorang memahami kaedah istihalah ini, ia akan tahu bagaimanakah menghukumi suatu najis apabila najis tersebut sudah berubah menjadi benda lain yang tidak nampak lagi atsar-atsarnya (bekas-bekasnya). Kaedah ini berlaku pula dalam masalah vaksinasi dari enzim babi.

Memahami kaedah kedua: Istihlak

Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna dan baunya.

Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci.

Alasannya adalah dua dalil berikut.

Hadits pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya."[3]

Hadits kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis)."[4]

Dua hadits di atas menjelaskan bahwa apabila benda yang najis atau haram bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.

Jadi suatu saat air yang najis, bisa berubah menjadi suci jika bercampur dengan air suci yang banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya berada dalam keadaan najis tanpa perubahan. Tepatlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

“Siapa saja yang mau merenungkan dalil-dalil yang telah disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat inilah yang lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada air atau benda cair yang tidak mungkin mengalami perubahan menjadi suci (tetap najis). Ini sungguh bertentangan dengan dalil dan akal sehat. Jika ada yang menganggap bahwa hukum najis itu tetap ada padahal (sifat-sifat) najis telah dihilangkan dengan cairan atau yang lainnya, maka ini sungguh jauh dari tuntutan dalil dan bertentangan dengan qiyas yang bisa digunakan."[5]

Catatan:

Kaedah di atas jadi tidak berlaku, jika berdasarkan pernyataan para pakar yang ada bahwa enzim tripsin pada imunisasi atau vaksinasi hanya berupa katalisator. Katalisator atau enzim hanyalah menjadi pemicu reaksi, dan bukan menjadi bagian dari vaksin. Sehingga jika berasal dari babi sekali pun, campuran tersebut sudah hilang. Coba pahami baik-baik maksud katalisator. Banyak penjelasan dari berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt., MM, -Direktur Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah satu perusahaan pembuat vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau mengatakan,

“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan halal stetalh diproses”. Beliau juga mengatakan, “Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya [vaksin], enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan.” [sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]

Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena minimal  bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci dalam beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal tiga hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya hilang.

Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ ثَلَاثَةً إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ بَيْضَهَا

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma  bahwasanya beliau mengurung [mengkarantina] ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari jika beliau ingin memakan telurnya.” [Mushannaf Abdurrazaq no. 8717]

Kalau saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis -karena makanannya kelak akan menjadi darah dan daging- saja bisa dimakan, maka jika hanya sebagai katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan, lebih layak lagi untuk dipergunakan atau minimal sama. [Dinukil dari http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-vaksinasi.html]

Fatwa Majelis Ulama Eropa

Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban untuk masalah vaksin yang digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio. Vaksin ini menggunakan enzim yang disebut tripsin dan diambil dari babi. Jumlah tripsin yang ditambahkan konsentrasinya sangat rendah. Tripsin ini nantinya akan hilang, tidak tersisa lagi. Kemudian tumbuh virus polio untuk bereproduksi dan akhirnya jadilah vaksin yang diberikan tiga tetes untuk setiap anak dalam mulut. Karena alasan inilah sebagian orang apalagi di Asia Timur karena dalam rangka hati-hati, mereka melarang mengonsumsi vaksin semacam ini untuk anak-anak muslim karena tripsin itu berasal dari babi.

Dalam masalah di atas, Majelis Ulama Eropa memutuskan dua hal:

Pertama:

Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis.  Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari'at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.

Kedua:

Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qoth'i).[6]

Di Antara Alasan  Pro Vaksinasi

  1. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil membawa virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan vaksin.
  2. Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi wabah seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung yg telah mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas kesahatan yang menangani. Jika tidak ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan masyarakat sekitar.
  3. Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di zaman modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi terpapar penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.
  4. Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap kondisi ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin serta jadwal yang benar sesuai kondisi setiap orang.
  5. Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan metodologi yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Penyebab autis itu multifaktor (banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya masih harus diteliti.
  6. Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-kontra juga. Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi kebebasan memilih. Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan vaksin sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakatnya.
  7. Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu atau tidak sama sekali? Karena standar kesehatan mereka sudah lebih tinggi, lingkungan bersih, epidemik (wabah) penyakit infeksi sudah diberantas, kesadaran dan pendidikan hidup sehatnya tinggi. Mereka sudah mengkonsumsi sayuran organik. Bandingkan dengan negara berkembang. Sayuran dan buah penuh dengan pestisida jika tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat pengawet, pewarna, pemanis buatan, mie instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita mau masuk ke beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu. Karena mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman penyakit dari negara kita.
  8. Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin halal karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksin. Contohnya Fatwa MUI yang menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus segera dicegah karena sudah banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC.[7]

Baca pula fatwa Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz mengenai hukum vaksinasi di sini.

Mengenai penjelasan vaksinasi dari sisi medis, silakan lihat tulisan saudara kami, dr. Raehanul Bahraen di www.muslim.or.id di sini.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Walhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

 

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA

23 Dzulqo'dah 1432 H (21/10/2011)

www.rumaysho.com

http://www.rumaysho.com/hukum-islam/umum/3579-hukum-vaksinasi-dari-enzim-babi.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter&utm_campaign=Feed%3A+rumaysho%2FrFAC+%28Feed+Rumaysho.com%29

Senin, 24 Oktober 2011

Pro Kontra Hukum Imunisasi dan Vaksinasi

Tuntas bagi kami pribadi, saat ini dan “mungkin” sementara karena bisa jadi suatu saat kami mendapat tambahan informasi baru. Kami hanya ingin membagi kelegaan ini setalah berlama-lama berada dalam kebingungan pro-kontra imunisasi. Pro-kontra yang membawa-bawa nama syari’at. Apalagi kami sering mendapat pertanyaan karena kami pribadi berlatar belakang pendidikan kedokteran. Pro-kontra yang membawa-bawa nama syari’at inilah yang mengetuk hati kami untuk menelitinya lebih dalam. Karena prinsip seorang muslim adalah apa yang agama syari’atkan mengenai hal ini dan hal itu.

Sebagai seorang muslim, semua jalan keluar telah diberikan oleh agama islam. Oleh karena itu kami berupaya kembali kepada Allah dan rasul-Nya.

 فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ

 “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” [An-Nisa-59]

Sebelumnya kami ingin menyampaikan bahwa imunisasi dan vaksinasi adalah suatu hal yang berbeda dimana sering terjadi kerancuan.

-Imunisasi: pemindahan atau transfer antibodi [bahasa awam: daya tahan tubuh] secara pasif. Antibodi diperoleh dari komponen plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu.

-Vaksinasi: pemberian vaksin [antigen dari virus/bakteri] yang dapat merangsang imunitas [antibodi] dari sistem imun di dalam tubuh. Semacam memberi “infeksi ringan”.

[Pedoman Imunisasi di Indonesia hal. 7, cetakan ketiga, 2008, penerbit Depkes]

Pro-kontra imunisasi dan vaksin

Jika membaca yang pro, kita ada kecendrungan hati mendukung. Kemudian jika membaca yang kontra, bisa berubah lagi. Berikut kami sajikan pendapat dari masing-masing pihak dari informasi yang kami kumpulkan.

Pendapat yang kontra: 

  • Vaksin haram karena menggunakan media ginjal kera, babi, aborsi bayi, darah orang yang tertular penyakit infeksi yang notabene pengguna alkohol, obat bius, dan lain-lain. Ini semua haram dipakai secara syari’at.
  • Efek samping yang membahayakan karena mengandung mercuri, thimerosal, aluminium, benzetonium klorida, dan zat-zat berbahaya lainnya yg akan memicu autisme, cacat otak, dan lain-lain.
  • Lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya, banyak efek sampingnya.
  • Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal bagaimana menjaganya dan bergaya hidup sehat.
  • Konspirasi dan akal-akalan negara barat untuk memperbodoh dan meracuni negara berkembang dan negara muslim dengan menghancurkan generasi muda mereka.
  • Bisnis besar di balik program imunisasi  bagi mereka yang berkepentingan. Mengambil uang orang-orang muslim.
  • Menyingkirkan metode pengobatan dan pencegahan dari negara-negara berkembang dan negara muslim seperti minum madu, minyak zaitun, kurma, dan habbatussauda.
  • Adanya ilmuwan yang menentang teori imunisasi dan vaksinasi.
  • Adanya beberapa laporan bahwa anak mereka yang tidak di-imunisasi masih tetap sehat, dan justru lebih sehat dari anak yang di-imunisasi.

Pendapat yang pro:

  • Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil membawa virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan vaksin.
  • Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi wabah seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung yg telah mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas kesahatan yang menangani. Jika tidak ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan masyarakat sekitar.
  • Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di zaman modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi terpapar penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.
  • Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap kondisi ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin serta jadwal yang benar sesuai kondisi setiap orang.
  • Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan metodologi yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Penyebab autis itu multifaktor (banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya masih harus diteliti.
  • Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-kontra juga. Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi kebebasan memilih. Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan vaksin sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakatnya.
  • Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu atau tidak sama sekali? Karena standar kesehatan mereka sudah lebih tinggi, lingkungan bersih, epidemik (wabah) penyakit infeksi sudah diberantas, kesadaran dan pendidikan hidup sehatnya tinggi. Mereka sudah mengkonsumsi sayuran organik. Bandingkan dengan negara berkembang. Sayuran dan buah penuh dengan pestisida jika tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat pengawet, pewarna, pemanis buatan, mie instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita mau masuk ke beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu. Karena mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman penyakit dari negara kita.
  • Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin halal karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksinContohnya Fatwa MUI yang menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus segera dicegah karena sudah banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC.

Terlepas dari itu semua, kami tidak bisa memastikan dan mengklaim 100% pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Kami hanya ingin membagi kelegaan hati kami berkaitan dengan syari’at. Berikut kami sajikan bagaimana proses dari kebingungan kami menuju sebuah kelegaan karena kami hanya ingin sekedar berbagi.

Kewajiban taat terhadap pemerintah/waliyul ‘amr

Hal ini berkaitan dengan program “wajib” pemerintah berkaitan dengan imunisasi -yang kita kenal dengan PPI [Program Pengembangan Imunisasi]- di mana ada lima vaksin yang menjadi imunisasi “wajib”.

Sudah menjadi aqidah ahlus sunnah wal jamaah bahwa kita wajib mentaati pemerintah. Berikut kami sampaikan dalil-dalil yang ringkas saja.

Allah Ta’ala berfirman,

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [An Nisa’: 59]

Kita wajib taat kepada pemerintah baik dalam hal yang sesuai dengan syari’at maupun yang mubah, misalnya taat terhadap lampu lalu lintas dan aturan di jalan raya. Jika tidak, maka kita berdosa. Bahkan jika pemerintah melakukan sesuatu yang mendzalimi kita, kita harus bersabar. Kita tidak boleh melawan pemerintah dengan melakukan demonstrasi apalagi melakukan kudeta dan pemberontakan karena lebih besar bahayanya dan juga akan menumpahkan darah sesama kaum muslimin.

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.“
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” [HR. Muslim no. 1847]

Kita baru diperbolehkan untuk  tidak taat jika melihat pemerintah berada pada kekufuran yang nyata, jelas, dan bukan kekufuran yang dicari-cari dan dibuat-buat.

سمعوا وأطيعوا، إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم عليه من الله برهان

“Mendengar dan taatlah kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah. [HR. Bukhari dan Muslim]

Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah sekarang kafir atau bukan negara Islam sehingga tidak perlu taat, maka kami sarankan untuk banyak menelaah kitab-kitab aqidah para ulama. Karena bisa jadi tuduhan itu kembali kepada yang menuduh. Kemudian perlu kita bedakan antara pemerintah yang tidak bisa menjalankan hukum syariat dan masih menganggap baik hukum Islam.  Dan di antara bukti negeri tersebut masih muslim adalah masih membebaskan dijalankan syari’at-syari’at yang bersifat jama’i seperti adzan, shalat berjama’ah dan shalat ‘ied.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

 “Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” [HR. Bukhari no. 3317, 5698, dan Muslim no. 214.]

Inilah yang agak mengusik hati kami, yaitu jika kita tidak mengikuti program imunisasi maka akan menyebabkan berdosa, karena pemerintah mengatakan “wajib”.

Walaupun hal ini bisa dibantah bagi mereka yang kontra, karena bahannya yang haram dan bisa merusak tubuh.  Sehingga dalam hal ini pemerintah tidak perlu ditaati. Karena kita dilarang merusak tubuh kita sendiri.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah: 195]

Sesuai dengan kaidah dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” [HR. Bukhari no. 7257]

Namun, kami berusaha mencari-cari lagi apa yang dimaksud dengan “wajib” oleh pemerintah agar lebih menentramkan dan keluar dari perbedaan pendapat.

Wajib imunisasi bukan wajib secara mutlak

Secara ringkas, wallahu a’lam, yang kami dapatkan bahwa pernyataan “wajib” pemerintah di sini bukanlah wajib secara mutlak dalam pelaksanaannya. Sebagaimana wajib, ada yang wajib ‘ain dan wajibkifayah. wajib Karena ada beberapa alasan.

1. Memang ada UU no. 4 tahun 1894 tentang wabah penyakit menular dan secara tidak langsung imunisasi masuk di sini karena salah satu peran imunisasi adalah memberantas wabah. Bisa dilihat di: :http://medbook.or.id/news/other/170-uu-no-4-tahun-1984 Ancaman bagi yang tidak mendukungnya, bisa dihukum penjara dan denda.

Akan tetapi, pemerintah juga masih kurang konsisten dalam menerapkan hukuman ini. Bisa dilihat pernyataan salah satu pemimpin kita.

 ”Kita tidak bisa memberikan sanksi hukuman, tetapi kita hanya bisa menghimbau kepada aparat, ibu-ibu, LSM, majelis taklim, ketua RT, dan lurah, agar menggerakkan warganya ke pos-pos imunisasi. Mudah-mudahan Jakarta bebas polio,,”

[sumber: http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/05/tgl/31/time/115902/idnews/371768/idkanal/10]

Walaupun sumber tersebut tahun 2005, tetapi ini menunjukkan setidaknya pemerintah pernah tidak konsisten.

2. Belum ada peraturan pemerintah atau undang-undang khusus yang mengatur secara jelas, tegas, dan shorih tentang kewajiban imunisasi, hukuman, serta kejelasan penerapan hukuman.

3. Kalaupun mewajibkan lima imunisasi termasuk polio, maka bagaimana dengan daerah yang terpencil, daerah yang tidak mendapatkan pasokan imunisasi seperti beberapa daerah di Papua? Apakah mereka dipenjara semua? Atau didenda semua? Haruskah mereka mencari-cari ke daerah yang ada imunisasi dan vaksin?

Bagimana dengan yang tidak mampu membayar imunisasi? Karena pemerintah belum menggratiskan secara menyeluruh imunisasi. Walaupun ada yang murah, tetapi tetap saja ada penduduk yang untuk makan sesuap nasi saja sulit. Apakah orang miskin-papa seperti mereka harus dipenjara atau didenda karena tidak imunisasi?

4. Sampai sekarang, wallahu a’lam, kami belum pernah mendengar ada kasus orang yang dihukum penjara atau denda hanya karena anaknya belum atau tidak diimunisasi.

5. Cukup banyak mereka yang kontra imunisasi dan vaksin baik individu, LSM, atau organisai tertentu mengeluarkan pendapat menolak imunisasi padahal ini sangat bertentangan dengan pemerintah. Bahkan mereka menghimbau bahkan memprovokasi agar tidak melakukan imunisasi. Tetapi, wallahu a’lam, kami tidak melihat tindak tegas pemerintah terhadap mereka.

Atau kita bisa menganalogikan dengan program “WAJIB belajar sembilan tahun”. Maka semua orang tahu bahwa “wajib “ di sini tidak bermakna wajib secara mutlak.

Maka kesimpulan yang kami ambil:

Imunisasi dan vaksin mubah, silahkan jika ingin melakukan imunisasi jika sesuai dengan keyakinan. Silahkan juga jika menolak imunisasi sesuai dengan keyakinan dan hal ini tidak berdosa secara syari’at. Silahkan sesuai keyakinan masing-masing. Yang terpenting kita jangan berpecah-belah hanya karena permasalahan ini dan saling menyalahkan.

Berikut kami sajikan fatwa tentang bolehnya imunisasi dan vaksin serta menunjukkan bahwa semacam imunisasi sudah ada dalam syari’at. Atau yang dikenal sekarang dengan imunisasi syari’at.

Ketika Syaikh  Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hal ini,

 ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟

 “Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa penyakit seperti imunisasi?”

Beliau menjawab,

لا بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع البلاء الذي يخشى منه لقول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح: «من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر ولا سم (1) » وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو في أي مكان لا بأس بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه.

La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”

Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.

[sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238]

Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban untuk masalah vaksin yang digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio. Dalam masalah tersebut, Majelis Ulama Eropa memutuskan dua hal:

Pertama:

Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis.  Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.

Kedua:

Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qoth’i). [Disarikan dari http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203]

Perlu diketahui juga bahwa di Saudi Arabia sendiri untuk pendaftaran haji melalui hamlah (travel)  diwajibkan bagi setiap penduduk asli maupun pendatang untuk memenuhi syarat tath’im (vaksinasi) karena banyaknya wabah yang tersebar saat haji nantinya. Syarat inilah yang harus dipenuhi sebelum calon haji dari Saudi mendapatkan tashrih atau izin berhaji yang keluar lima tahun sekali.

Jangan meyebarluaskan penolakan imunisasi

Merupakan tindakan yang kurang bijak bagi mereka yang menolak imunisasi, menyebarkan keyakinan mereka secara luas di media-media, memprovokasi agar menolak keras imunisasi dan vaksin, bahkan menjelek-jelekkan pemerintah. Sehingga membuat keresahan dimasyarakat.  Karena bertentangan dengan pemerintah yang membuat dan mendukung program imunisasi.

Hendaknya ia menerapkan penolakan secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana kasus jika seseorang melihat hilal Ramadhan dengan jelas dan sangat yakin, kemudian persaksiannya ditolak oleh pemerintah. Pemerintah belum mengumumkan besok puasa, maka hendaknya ia puasa sembunyi-sembunyi besok harinya dan jangan membuat keresahan di masyarakat dengan mengumumkan dan menyebarluaskan persaksiannya akan hilal, padahal sudah ditolak oleh pemerintah. Karena hal ini akan membuat perpecahan dan keresahan di masyarakat.

Islam mengajarkan kita agar tidak langsung menyebarluaskan setiap berita atau isu ke masyarakat secara umum. Hendaklah kita jangan mudah termakan berita yang kurang jelas atau isu murahan kemudian ikut-kutan menyebarkannya padahal ilmu kita terbatas mengenai hal tersebut. Hendaklah kita menyerahkan kepada kepada ahli dan tokoh yang berwenang untuk menindak lanjuti, meneliti, mengkaji, dan menelaah berita atau isu tersebut. Kemudian merekalah yang lebih mengetahui dan mempertimbangkan apakah berita ini perlu diekspos atau disembunyikan.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa: 83]

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan ayat ini,

هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه

“Ini adalah pengajaran dari Allah kepada Hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Bahkan mengembalikan  perkara tersebut kepada Rasulullah dan [pemerintah] yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuwan, peneliti, penasehat, dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan, dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannyaDan jika mereka melihat tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharatnya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya. [Taisir Karimir Rahman hal. 170, Daru Ibnu Hazm, Beirut, cetakan pertama, 1424 H]

Sebaiknya kita menyaring dulu berita yang sampai kepada kita dan tidak semua berita yang kita dapat kemudian kita sampaikan semuanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.” [HR. Muslim]

Demikianlah semoga kelegaan ini bisa juga membuat kaum muslimin yang juga sebelumnya berada di dalam kebingungan juga bisa menjadi lega.

Kami sangat berharap adanya masukan, kritik dan saran kepada kami mengenai hal ini. Jika ada informasi yang tegas dari pemerintah tentang wajibnya imunisasi secara mutlak, kami mohon diberitahukan.

Pendapat kami pribadi mengenai imunisasi dan vaksin

Hati kami merasa lebih tentram dengan condong ke arah pihak yang pro. Wallahu ‘alam. Kami memang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran, sehingga mungkin ada yang mengira kami terpengaruh oleh ilmu kami sehingga mendukung imunisasi dan vaksinasi. Akan tetapi, justru karena kami memiliki latar belakang tersebut, kami bisa menelaah lebih dalam lagi dan mencari fakta-fakta yang kami rasa lebih menentramkan hati kami.  Berikut kami berusaha menjabarkannya dan menjawab apa yang menjadi alasan mereka menolak imunisasi.

Vaksin haram?

Ini yang cukup meresahkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah muslim. Namun mari kita kaji, kita ambil contoh vaksin polio atau vaksin meningitis yang produksinya menggunakan enzim tripsin dari serum babi. Belakangan ini menjadi buah bibir karena cukup meresahkan jama’ah haji yang diwajibkan pemerintah Arab Saudi vaksin, karena mereka tidak ingin terkena atau ada yang membawa penyakit tersebut ke jama’ah haji di Mekkah.

Banyak penjelasan dari berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt., MM, -Direktur Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah satu perusahaan pembuat vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau mengatakan,

“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan halal stetalh diproses”. Beliau juga mengatakan, “Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya [vaksin], enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan.” [sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]

Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena minimal  bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci dalam beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal tiga hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya hilang.

Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan,

 عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ ثَلَاثَةً إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ بَيْضَهَا

 ”Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma  bahwasanya beliau mengurung [mengkarantina] ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari jika beliau ingin memakan telurnya.”[Mushannaf Abdurrazaq no. 8717]

Kalau saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis -karena makanannya kelak akan menjadi darah dan daging- saja bisa dimakan, maka jika hanya sebagai katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan, lebih layak lagi untuk dipergunakan atau minimal sama.

Perubahan benda najis atau haram menjadi suci

Kemudian ada istilah [استحالة] “istihalah” yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi benda yang suci yang telah berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah jika kulit bangkai yang najis dan haram disamak, maka bisa menjadi suci atau jika khamr menjadi cuka  -misalnya dengan penyulingan- maka menjadi suci. Pada enzim babi vaksin tersebut telah berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya sebagai katalisator pemisah, maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan masalah istihalah,

وَاَللَّهُ – تَعَالَى – يُخْرِجُ الطَّيِّبَ مِنْ الْخَبِيثِ وَالْخَبِيثَ مِنْ الطَّيِّبِ، وَلَا عِبْرَةَ بِالْأَصْلِ، بَلْ بِوَصْفِ الشَّيْءِ فِي نَفْسِهِ، وَمِنْ الْمُمْتَنِعِ بَقَاءُ حُكْمِ الْخُبْثِ وَقَدْ زَالَ اسْمُهُ وَوَصْفُهُ،

“Dan Allah Ta’ala mengeluarkan benda yang suci dari benda yang najis dan mengeluarkan benda yang najis dari benda yang suci. Patokan bukan pada benda asalnya, tetapi pada sifatnya yang terkandung pada benda tersebut [saat itu]. Dan tidak boleh menetapkan hukum najis jika telah hilang sifat dan berganti namanya.” [I’lamul muwaqqin ‘an rabbil ‘alamin 1/298, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan pertama, 1411 H, Asy-Syamilah]

Percampuran benda najis atau haram dengan benda suci

Kemudian juga ada istilah [استحلاك] “istihlak” yaitu bercampurnya benda najis atau haram pada benda yang suci sehingga mengalahkan sifat najisnya , baik rasa, warna, dan baunya. Misalnya hanya beberapa tetes khamr pada air yang sangat banyak. Maka tidak membuat haram air tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” [Bulughul Maram, Bab miyah no.2, dari Abu Sa’id Al-Khudriy]

كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ – وَفِي لَفْظٍ: – لَمْ يَنْجُسْ

“Jika air mencapai dua qullah tidak mengandung najis”, di riwayat lain, “tidak najis” [Bulughul Maram, Bab miyah no.5, dari Abdullah bin Umar]

Maka enzim babi vaksin yang hanya sekedar katalisator yang sudah hilang melalui proses pencucian, pemurnian, dan penyulingan sudah minimal terkalahkan sifatnya.

Jika kita memilih vaksin adalah haram

Berdasarkan fatwa MUI bahwa vaksin haram tetapi boleh digunakan jika darurat. Bisa dilihat di berbagai sumber salah satunya cuplikan wawancara antara Hidayatullah dan KH. Ma’ruf Amin selaku Ketua Komisi Fatwa MUI [halaman 23], sumber:

http://imunisasihalal.wordpress.com/2008/03/13/wawancara-dengan-mui-vaksin-haram-tapi-boleh-karena-darurat/

Berobat dengan yang haram

Jika kita masih berkeyakinan bahwa vaksin haram, mari kita kaji lebih lanjut. Bahwa ada kaidah fiqhiyah,

الضرورة تبيح المحظورات

Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang

Kaidah ini dengan syarat:

1. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.

2. Digunakan sekadar mencukupi saja untuk memenuhi kebutuhan.

Inilah landasan yang digunakan MUI, jika kita kaji sesuai dengan syarat:

1. Saat itu belum ada pengganti vaksin lainnya

Adapun yang berdalil bahwa bisa diganti dengan jamu, habbatussauda, atau madu [bukan berarti kami merendahkan pengobatan nabi dan tradisional], maka kita jawab bahwa itu adalah pengobatan yang bersifat umum dan tidak spesifik. Sebagaimana jika kita mengobati virus tertentu, maka secara teori bisa sembuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh, akan tetapi bisa sangat lama dan banyak faktor, bisa saja dia mati sebelum daya tahan tubuh meningkat. Apalagi untuk jamaah haji, syarat satu-satunya adalah vaksin.

2. Enzim babi pada vaksin hanya sebagai katalisator, sekedar penggunaannya saja.

Jika ada yang berdalil dengan,

 إن الله خلق الداء والدواء، فتداووا، ولا تتداووا بحرام

 ”Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” [HR. Thabrani. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1633]

Maka, pendapat terkuat bahwa pada pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, dengan syarat:

  1. Penyakit tersebut adalah penyakit yang harus diobati.
  2. Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
  3. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.

Berlandaskan pada kaidah fiqhiyah,

 إذا تعارض ضرران دفع أخفهما.

”Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling ringan.“

Dan Maha Benar Allah yang memang menciptakan penyakit namun pasti ada obatnya. Kalau tidak ada obatnya sekarang, maka hanya karena manusia belum menemukannya. Terbukti baru-baru ini telah ditemukan vaksin meningitis yang halal, dan MUI mengakuinya.

Bisa dilihat pernyataan berikut,

Majelis Ulama Indonesia menerbitkan sertifikat halal untuk vaksin meningitis produksi Novartis Vaccines and Diagnostics Srl dari Italia dan Zhejiang Tianyuan Bio-Pharmaceutical asal China. Dengan terbitnya sertifikat halal, fatwa yang membolehkan penggunaan vaksin meningitis terpapar zat mengandung unsur babi karena belum ada vaksin yang halal menjadi tak berlaku lagi.

”Titik kritis keharaman vaksin ini terletak pada media pertumbuhannya yang kemungkinan bersentuhan dengan bahan yang berasal dari babi atau yang terkontaminasi dengan produk yang tercemar dengan najis babi,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (20/7).

Sumber: http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/21/03395385/Tersedia.Vaksin.Meningitis.Halal

Semoga kelak akan ditemukan vaksin lain yang halal misalnya vaksin polio, sebagaimana usaha WHO juga mengupayakan hal tersebut. WHO yang dituduh sebagai antek-antek negara barat dan Yahudi, padahal tuduhan ini tanpa bukti dan hanya berdasar paranoid terhadap dunia barat. Berikut penyataannya,

Menurut Neni [peneliti senior PT. Bio Farma], risiko penggunaan unsur binatang dalam pembuatan vaksin sebenarnya tidak hanya menyangut halal atau haram. Bagi negara non-muslim sekalipun, penggunaan unsur binatang mulai dibatasi karena berisiko memicu transmisi penyakit dari binatang ke manusia”.

“WHO mulai membatasi, karena ada risiko transmisi dan itu sangat berbahaya. Misalnya penggunaan serum sapi bisa menularkan madcow (sapi gila),” ungkap Neni dalam jumpa pers Forum Riset Vaksin Nasional 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2011)

[sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]

Fatwa MUI pun tidak selamat, tetap saja dituduh ada konspirasi di balik itu. Maka kami tanyakan kepada mereka,

“Apakah mereka bisa memberikan solusi, bagaimana supaya jama’ah haji Indonesia bisa naik haji, karena pemerintah Saudi mempersyaratkan harus vaksin meningitis jika ingin berhaji. Hendaklah kita berjiwa besar, jangan hanya bisa mengomentari dan mengkritik tetapi tidak bisa memberikan jalan keluar.”

Agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak kaku, Allah tidak menghendaki kesulitan kepada hambanya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [Al-Hajj: 78]

Jika masih saja tidak boleh dan haram bagaimanapun juga kondisinya

Jika masih berkeyakinan bahwa vaksin itu omong kosong, haram dan tidak berguna, maka ketahuilah, vaksin inilah yang memberikan kekuatan psikologis kepada kami para tenaga kesehatan untuk bisa menolong dan mengobati masyarakat umum. Jika kami -tenaga kesehatan- tidak melakukan vaksinasi hepatitis B, seandainya mereka yang kontra vaksinasi terkena hepatitis B dan perlu disuntik atau dioperasi, maka saya atau pun tenaga medis lainnya akan berpikir dua kali untuk melakukan operasi jika mereka belum divaksin hepatitis B. Maka hati kami akan gusar dalam menjalankan tugas kami, kita tidak tahu jika ada pasien yang luka, berdarah, lalu kita bersihkan lukanya, kemudian ternyata diketahui bahwa dia berpenyakis hepatitis B. Karena keyakinan sudah divaksinasi hepatitis B, maka hal itu membuat kami bisa menjalaninya.

Begitu juga jika istri mereka hendak melahirkan dan terkena hepatitis B, bidan yang membantu mereka akan berpikir dua kali untuk membantu persalinan jika dia belum vaksin hepatitis B. Karena hepatitis B termasuk penyakit kronis dengan prognosis buruk, belum ditemukan dengan pasti obatnya.

Benarkah konspirasi dan akal-akalan Barat dan Yahudi?

Untuk memastikan hal ini perlu penelitian dan fakta yang jelas, dan sampai sekarang belum ada bukti yang kuat mengenai hal ini. Walapun mereka kafir tetapi Islam mengajarkan tidak boleh dzalim tehadap mereka, dengan menuduh tanpa bukti dan berdasar paranoid selama ini. Begitu juga WHO sebagai antek-anteknya.

Malah yang ada adalah bukti-bukti bahwa tidak ada konspirasi dalam hal ini, berikut kami bawakan beberapa di antaranya:

1. Pro-kontra imunisasi dan vaksin tidak hanya berada di Negara Islam dan Negara berkembang saja, tetapi dinegara-negara barat dan Negara non-Islam lainnya seperti di Filipina dan Australia

Sumber: http://www.metrotvnews.com/ekonomi/news/2011/07/28/59298/Kelompok-Antivaksin-tak-Hanya-Ada-di-Indonesia

Pro-kontra imunisasi sudah ada sejak Pasteur mengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan imunisasi demam tifoid semasa perang Boer. Demikian juga penentang imunisasi cacar di Inggris sampai membawanya di parlemen Inggris. Para Ibu di Jepang dan Inggris menolak imunisasi DPT karena menyebabkan reaksi panas (demam). [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal. 361]

2. Amerika melakukan imunisasi bagi pasukan perang mereka. Ini menjawab tuduhan bahwa imuniasi hanya untuk membodohi Negara muslim dan sudah tidak populer di Negara barat, bahkan mereka mengeluarkan jurnal penelitian resmi untuk meyakinkan dan menjawab pihak kontra imunisasi. Salah satunya adalah jurnal berjudul,  “Immunization to Protect the US Armed Forces: Heritage, Current Practice, and Prospects” Sangat lucu jika mereka mau bunuh diri dengan melemahkan dan membodohi pasukan perang mereka dengan imunisasi.

Jurnal tersebut bisa di akses di: http://epirev.oxfordjournals.org/content/28/1/3.full
3. WHO juga sedang meneliti pengembangan imunisasi tanpa menggunakan unsur binatang sebagaimana kita jelaskan sebelumnya.

Uang dibalik imunisasi?

Jika memang ada bisnis uang orang-orang Yahudi di balik imunisasi, maka ini perlu ditinjau lagi, karena Indonesia sudah memproduksinya sendiri, misalnya PT. Bio Farma. Jika memang mereka ingin memeras negara muslim, mengapa mereka tidak monopoli saja, tidak memberikan teknologinya kepada siapa pun.

Imunisasi tidak menjamin 100%

Tidak ada yang obat yang bisa menjamin 100% kesembuhan dan menjamin 100% pencegahan. Semua tergantung banyak faktor, salah satunya adalah daya tahan tubuh kita. Begitu juga dengan imunisasi, sehingga beberapa orang mempertanyakan imunisasi hanya karena beberapa kasus penyakit campak, padahal penderita sudah diimunisasi campak.

Semua obat pasti ada efek sampingnya

Bahkan madu, habbatussauda, dan bekam juga ada efek sampingnya, hanya saja kita bisa menghilangkan atau meminimalkannya jika sesuai aturan. Begitu juga dengan imunisasi yang dikenal dengan istilah KIPI [Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi]. Misalnya, sedikit demam, dan ini semua sudah dijelaskan dan ada penanganannya.

Anak yang tidak imunisasi lebih sehat?

Ada pengakuan bahwa anaknya yang tidak diimunisasi lebih sehat dan pintar dari yang diimunisasi. Maka kita jawab, bisa jadi itu karena faktor-faktor lain yang tidak terkait dengan imunisasi, dan perlu dibuktikan. Banyak orang-orang miskin dan kumuh anaknya lebih sehat dan lebih pintar dibandingkan mereka yang kaya dan pola hidupnya sehat. Apakah kita akan mengatakan, jadi orang miskin saja supaya lebih sehat? Kita tahu sebagian besar anak Indonesia diimunisasi dan lihatlah mereka semuanya banyak yang pintar-pintar dan menjuarai berbagai olimpiade tingkat internasional. Apakah kita kemudian akan mengatakan, ikut imunisasi saja supaya bisa menjuarai olimpiade tingkat internasional? Sehingga, jangan karena satu dua kasus, kemudian kita menyamakannya pada semua kasus.

Penelitian tentang kegagalan imunisasi dan vaksin yang setengah-setengah

Umumnya penelitian-penelitian ini adalah penelitian tahun lama yang kurang bisa dipercaya, mereka belum memahami benar teori imunologi yang terus berkembang. Kemudian tahun 2000-an muncul kembali yaitu peneliti Wakefield dan Montgomerry yang mengajukan laporan penelitian adanya hubungan vaksin MMR dengan autism pada anak. Ternyata penelitian ini tidak menggunakan paradigm epidemiologik, tetapi paradigma imunologi atau biomolekuler yang belum memberikan bukti shahih. Bukti juga masih sepotong-potong. Baik pengadilan London maupun redaksi majalah yang memuat tulisan ini akhirnya menyesal dan menyatakan bukti yang diajukan lemah dan kabur. [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal 366-367]

Keberhasilan vaksin memusnahkan cacar [smallpox] di bumi

Bukan cacar air [varicella] yang kami maksud, tetapi cacar smallpox. Yang sebelumnya mewabah di berbagai negara dan sekarang hampir semua negara menyatakan negaranya sudah tidak ada lagi penyakit ini.

“Following their jubilant announcement in 1980 that smallpox had finally been eradicated from the world, the World Health Organization lobbied for the numbers of laboratories holding samples of the virus to be reduced. In 1984 it was agreed that smallpox be kept in only two WHO approved laboratories, in Russia and America

“Setelah pengumuman gembira mereka pada tahun 1980 bahwa cacar akhirnya telah diberantas dari bumi, WHO melobi agar jumlah laboratorium yang memegang sampel virus bisa dikurangi. Pada tahun 1984, disepakati bahwa (virus) cacar hanya disimpan di dua laboratorium yang disetujui WHO, yaitu di Rusia dan Amerika.

Sumber: http://www.bbc.co.uk/history/british/empire_seapower/smallpox_01.shtml

Lihat bagaimana dua negara adidaya saat itu yang saling berperang berusaha mendapatkan ilmu ini dengan menyimpan bibit penyakit tersebut. Jika ini hanya main-main dan bohong belaka, mengapa harus diperebutkan oleh banyak negara dan akhirnya dibatasi dua Negara saja. Lihat juga karena vaksinlah yang menyelamatkan dunia dari wabah saat itu, dengan izin Allah Ta’ala.

Dukung Imunisasi Polio Pemerintah

Kita tidak boleh memaksa, kita hanya bisa mengarahkan. Sama dengan wabah cacar, maka polio juga menjadi sasaran pemusnahan di muka bumi. Oleh karena itu, semua orang harus ikut serta sehingga virus polio bisa musnah di muka bumi ini. Jika ada beberapa orang saja yang masih membawa virus ini kemudian menyebar, maka program ini akan gagal. Di Indonesia pemerintah mencanangkannya dengan “Indonesia Bebas Polio”. Mengingat penyakit in sangat berbahaya dengan kemunculan gejala yang cepat.

Mungkin kita harus belajar dari kasus yang terjadi di Belanda. Di sana, ada daerah-daerah yang karena faktor religius, mereka menolak untuk divaksin, biasa disebut “Bible Belt”, mereka tersebar di beberapa daerah di Belanda. Akibatnya, terjadi outbreak (wabah) virus Measles antara tahun 1999-2000 dengan lebih dari 3000 kasus virus Measles dan setelah diteliti ternyata terjadi di daerah-daerah yang didominasi oleh orang-orang Bible Belt. Padahal kita tahu, sejak vaksin Measles berhasil ditemukan tahun 1965-an [sekarang vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella)], kasus Measles sudah hampir tidak ada lagi.

Maka ini menjadi pelajaran bagi kita, ketika daya tahan tubuh kita tidak memiliki pertahanan tubuh spesifik untuk virus tertentu, bisa jadi kita terjangkit virus tersebut dan menularkannya kepada orang lain bahkan bisa jadi menjadi wabah. Karena bisa jadi, untuk membangkitkan daya tahan spesifik terhadap serangan virus tertentu yang berbahaya, sistem imunitas kita kalah cepat dengan serangan virusnya, sehingga bisa barakibat fatal. Dan inilah yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Itulah mengapa pemerintah sangat ingin agar imunisasi bisa mencakup hampir 100% anak, agar setiap orang mempunyai daya tahan tubuh spesifik terhadap virus tersebut. [dua paragraf di atas adalah tambahan dari editor, Jazahumullahu khair atas tambahan ilmunya]

Keberhasilan teori dimana teori tersebut menjadi dasar teori imunisasi

Imunisasi dibangun di atas teori sistem imunitas (sistem pertahanan tubuh) dengan istilah-itilah yang mungkin pernah didengar seperti antibodi, immunoglubulin,  sel-B, sel-T, antigen, dan lain-lain. Teori inilah yang melandasi ilmu kedokteran barat yang saat ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat dunia. Dan sudah terbukti.

Bagaimanakah sebuah obat penekan sistem imunitas bekerja seperti kortikosteroid, bagaimana obat-obat yang mampu meningkatkan sistem imun. Bahkan habbatussauda pun diteliti dan sudah ada jurnal kedoktean resmi yang menyatakan bahwa habbatussauda dapat meningkatkan sistem imun. Semua dibangun di atas teori ini. Dan masih banyak lagi, misalnya vaksin bisa ular.  Bagaimana seorang yang digigit ular berbisa kemudian bisa selamat dengan perantaraan vaksin ini. Vaksin tetanus, rabies, dan lain-lainnya

Demikian yang dapat kami jabarkan, kami tidak memaksa harus mendukung imunisasi. Tetapi silahkan para pembaca yang menilai sendiri. Yang terpenting adalah kami telah menyampaikan cara menyikapi pro dan kontra imunisasi. Kami juga tetap berkeyakinan bahwa pengobatan nabawi adalah yang terbaik, seperti madu, habbatussauda, dan lain-lain. Sehingga jangan ditinggalkan hanya karena sudah diimunisasi.

 

Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Kami terbuka untuk berdiskusi karena belum tentu kami yang benar. Kebenaran hanya milik Allah Ta’ala semata.

 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid

22 Syawwal 1432 H, Bertepatan  21 September 2011

Penyusun:  dr. Raehanul Bahraen

Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis.

Muraja’ah:

1. Ustadz Aris Munandar, SS. MA.

Guru agama kami, kami banyak mengambil ilmu agama dari beliau

2. Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST.

Senior dan guru bahasa Arab kami, sering membimbing dan menyemangati kami dalam menuntut ilmu agama, beliau adalah mahasiswa Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA (Master of Chemical Engineering), rutin mengikuti kajian harian Syaikh Sholeh Al Fauzan dan kajian pekanan Syaikh Sa’ad Asy Syatsri.

Editor medis: dr. Muhammad Saifudin Hakim

seorang penulis buku, dosen di Fak. Kedokteran UGM, kakak tingkat kami di Fakultas Kedokteran UGM

sedang menempuh S2 Research Master of Infection and Immunity

di Erasmus University Medical Centre Rotterdam, Netherlands

Semoga Allah menjaganya di sana dan pulang ke Indonesia dengan Ilmu yang dibawa.

 http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-vaksinasi.html

Sabtu, 22 Oktober 2011

Bahayanya Menolak Imunisasi

oleh Agnes Tri Harjaningrum pada 22 Oktober 2011 jam 23:52

http://www.facebook.com/notes/agnes-tri-harjaningrum/bahayanya-menolak-imunisasi/10150354357848796


Mulanya, ia adalah seorang wanita yang sungguh rupawan. Namun, kecantikan itu lenyap pada usianya yang ke 26 setelah penyakit smallpox (variola atau cacar monyet) menyerangnya dan meninggalkan jejak parut alias bopeng di wajahnya. Alis wajahnya pun menghilang akibat penyakit yang sama(1). Di masanya dahulu, smallpox memang penyakit yang cukup mengerikan, penyakit infeksi pembunuh terbesar. Di akhir abad ke-18 penyakit ini telah membunuh 400.000 warga eropa per tahunnya, yang sebagian besar adalah anak-anak. Bahkan diperkirakan sekira 300-500 juta orang di abad ke-20 telah meninggal akibat penyakit ini(2). Selain memunculkan bopeng yang membuat penderitanya menjadi buruk rupa dan menyebabkan kematian, smallpox juga menyebabkan kebutaan serta penyakit tulang. Penyakit  yang disebabkan oleh virus variola ini pun sangat mudah menular, hanya lewat udara, percikan ludah atau berdekatan saja, orang lain bisa tertular(3), sungguh seram bukan?

 

Untungnya, vaksinasi untuk melawan smallpox yang pertama kali ditemukan oleh Edward jenner berhasil membuat penyakit ini lenyap dari muka bumi. Tahun 1979, WHO mengumumkan  bahwa penyakit ini telah berhasil dieradikasi(4). Bayangkan kalau penyakit ini masih ada hingga kini, berapa banyak wajah rupawan yang harus jadi korban, berapa banyak nyawa lagi yang harus terbang. Edward Jenner patut diberi penghargaan memang. Namun, dibalik sukses Edward Jenner sebagai penemu vaksin pertama kali, inoculation, atau menanamkan bibit penyakit pada orang sehat, agar terbentuk imunitas tubuh terhadap penyakit tersebut sebetulnya telah dilakukan berabad-abad sebelumnya oleh bangsa Cina(5). Cara ini pun telah dilakukan oleh bangsa Turki di jaman kerajaan Ottoman(6).

 

Wanita yang diceritakan di atas adalah Lady Mary Wortley Montagu(1,6), seorang istri ambassador Inggris yang pada tahun 1717 sempat tinggal di Turki selama 2 tahun untuk menemani suaminya yang bertugas disana. Saat tinggal di Turki, ia memperhatikan kebiasaan orang Turki dan menyaksikan seorang wanita Turki yang melakukan inoculation  untuk melawan penyakit smallpox. Wanita Turki ini mengambil nanah dari luka penderita penyakit smallpox. Lalu, dibuatlah beberapa sayatan di tubuh anak yang sehat, dan nanah tersebut ditanamkan pada sayatan itu dan dibalut.  Lady Mary melihat anak yang sehat itu mengalami demam beberapa hari, namun kemudian sembuh dan kebal terhadap penyakit smallpox. Saat pulang ke negaranya, Lady Mary dengan antusias mempromosikan cara Turki itu. Namun ia ditentang oleh kalangan medis ketika itu dengan alasan konyol namun masuk akal untuk kondisi saat itu: karena dia adalah seorang perempuan, dan karena ide yang dia bawa berasal dari Timur (Turki). Meskipun begitu, Lady Mary tetap melakukan inoculasi melawan smallpox untuk anak lelakinya, dan anak lelakinya pun menjadi kebal terhadap smallpox. Beberapa puluh tahun kemudian, barulah Edward Jenner muncul dan mempublikasikan bukti penemuannya tentang vaksin Smallpox.

 

Jika melihat sejarah, ternyata awal mula munculnya vaksinasi berasal dari Bangsa Cina dan Turki (yang saat kerajaan Ottoman berkuasa negaranya berlandaskan Islam). Merekalah yang telah mempraktekan cikal bakal vaksinasi. Mengapa membaca sejarah dalam hal ini menjadi penting? Karena belakangan ini di Indonesia gerakan anti imunisasi mulai berkembang dan membuat para orangtua bimbang. Dari sejarah, kita bisa melihat dengan jernih asal muasal vaksinasi, dan apakah betul vaksinasi memang hanya merupakan teori konspirasi untuk melemahkan suatu kaum sehingga patut dihindari? Dan apakah betul manfaat vaksinasi lebih sedikit daripada kebaikannya sehingga layak untuk diantipati? Mari kita kaji lagi dengan seksama dan hati-hati.

 

Gerakan Anti-Imunisasi

 

Sebetulnya anti imunisasi sudah ada sejak jaman dulu, bahkan sejak Edward Jenner dengan vaksinasi temuannya berhasil mengurangi kasus smallpox dengan sangat signifikan. Poland GA dan Jacobson RM di tahun 2001(7) dalam artikelnya yang diterbitkan oleh Vaccine jurnal mengatakan bahwa CDC (The Center for Disease Control and Prevention) telah membuat booklet yang didalamnya mengumpulkan kritik dan keberatan dari para anti imunisasi berkaitan dengan vaksinasi. Selain alasan teori konspirasi dan politik seperti kecurigaan terhadap keuntungan  yang didapat perusahaan vaksin, isu kaum minoritas, serta genocide ( pembunuhan masal suatu kaum), isu-isu lain juga muncul. Jika membaca website-website anti imunisasi dalam internet, isue-isue tersebut memang sering disebut-sebut diantaranya: bahwa penyakit sudah mulai hilang sebelum vaksin digunakan, jadi buat apa divaksinasi; bahwa alih-alih meningkatkan kekebalan tubuh, vaksin malah menyebabkan kesakitan dan kematian; bahwa penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin sudah dieliminasi jadi buat apa divaksin; bahwa semakin banyaknya vaksin yang masuk bisa menyebabkan kekebalan tubuh kita terbebani; dan bahwa cara vaksin bekerja dengan menanamkan bibit penyakit untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah cara yang tidak alami.

 

Masih dalam jurnal yang sama dikatakan bahwa saat ini lebih dari 300 anti vaccine website tersebar di internet. Para aktivis anti imunisasi tersebut tidak hanya mengambil keuntungan dari kemudahan penyebaran informasi dari debat di internet, tetapi juga melebih-lebihkan dan mendramatisir kasus-kasus reaksi efek samping akibat imunisasi kepada media dan masyarakat. Informasi-informasi yang seolah ilmiah, padahal kadang salah kaprah atau diinterpretasikan secara salah menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat. Fakta yang sesungguhnya, data ilmiah yang valid dan bisa dipercaya telah dikaburkan oleh media dan gerakan anti imunisasi sehingga ketakutan masyarakat semakin menjadi.

 

Fakta yang tidak akurat

Dokter Ed Friedlander dalam websitenya(8) telah membeberkan beberapa contoh kesalahan interpretasi yang sering terjadi entah disengaja ataupun tidak oleh para anti imunisasi. Menurut dokter Ed, dengan membaca tulisan-tulisan yang sekilas mencantumkan sumber jurnal dan orang terkenal atau para ahli, orang awam yang tidak mengerti dunia ilmiah akan segera terpengaruh oleh tulisan-tulisan tersebut. Contohnya bisa kita lihat dari sebuah website anti imunisasi berbahasa Indonesia yang penulisannya seperti ini:

 

SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) naik dari 0.55 per 1000 orang di 1953 menjadi 12.8 per 1000 pada 1992 di Olmstead County, Minnesota. Puncak kejadian SIDS adalah umur 2 – 4 bulan, waktu di mana vaksin mulai diberikan kepada bayi. 85% kasus SIDS terjadi di 6 bulan pertama bayi. Persentase kasus SIDS telah naik dari 2.5 per 1000 menjadi 17.9 per 1000 dari 1953 sampai 1992. Naikan kematian akibat SIDS meningkat pada saat hampir semua penyakit anak-anak menurun karena perbaikan sanitasi dan kemajuan medikal kecuali SIDS. Kasus kematian SIDS meningkat pada saat jumlah vaksin yang diberikan kepada balita naik secara meyakinkan menjadi 36 per anak.”

 

Tulisan ini tidak memberikan kutipan dari mana sumber asli jurnal ilmiahnya, padahal data-data merujuk tentang penelitian yang semestinya berasal dari jurnal. Lalu, kalau melihat websitenya, ada jualan obat herbal juga dibaliknya. Sementara kalau melihat jurnal ilmiah, issue tentang vaksin DPT dan hubungannya dengan SIDS ini telah dibantah. Sejak 1982, telah dilakukan penelitian secara mendalam tentang hubungan antara vaksinasi DPT (Diptheri, Pertusis, dan Tetanus) dan SIDS, tapi ternyata tidak ada hubungannya. Dari telaah dokter Ed, data yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara vaksin DPT dan SIDS bisa didapatkan dari jurnal-jurnal berikut: J. Ped. 129: 695, 1996; Am. Fam. Phys. 54: 185, 1996. Malah berdasarkan penelitian dari Edinburgh (FEMS Immuno. Med. Micro. 25: 183, 1999) imunisasi DPT justru bisa melawan SIDS. SIDS sendiri kemungkinan malah disebabkan oleh pertusis (Eur. J. Ped. 155: 551, 1996.).

Begitu juga dengan issue lain seperti vaksin hepatitis B menyebabkan penyakit multiple sclerosis, issue vaksin MMR menyebabkan autism, dan issue-issue lainnya, semua sudah dibantah secara ilmiah(9).

 

Memang betul vaksin adalah obat yang tidak mungkin 100 persen sempurna dan aman, jadi  walaupun diciptakan untuk mencegah penyakit tapi tentu bisa menyebabkan efek samping. Sejak 1990,  CDC and FDA sudah membuat VAERS The Vaccine Adverse Event Reporting System  untuk mendeteksi reaksi yang tidak diinginkan atau efek samping dari vaksinasi(10). Setelah kasus dilaporkan, badan ini akan melacak apakah penyebabnya memang lantaran vaksinasi atau bukan. Setiap Negara pada prinsipnya mempunyai lembaga ini yang juga mempunyai fungsi yang sama.

 

Karena itu sangat disarankan  bagi orangtua agar  tetap well informed. Sebelum mengimunisasi  anaknya, bertanya, membaca atau mendapatkan informasi terlebih dahulu tentang kemungkinan efek samping dan reaksi yang ditimbulkan dari sebuah vaksin serta mengetahui tindakan pertama yang harus dilakukan ketika terjadi efek samping, sangatlah penting. Tapi seringnya, meskipun ada, efek samping vaksinasi hanyalah  ringan, jika pun berat umumnya tidak berhubungan langsung dengan imunisasi. Kalaupun ada hubungan dan akibatnya cukup fatal, itu terjadi hanya 1: 100.000 orang yang telah mendapatkan manfaat imunisasi.

 

Sayangnya jika ada kejadian fatal, media kerap meniup-niupkan dan membuatnya bombastis serta emosional, sementara  ketika kasus penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi mewabah dan menimbulkan kematian banyak orang, beritanya tidak dibesar-besarkan. Manfaat vaksin yang lebih besar ketimbang efek sampingnya  juga sering tidak dimunculkan. Alhasil masyarakat semakin ketakutan.

 

Sebagai contoh, Ben Goldrace, seorang dokter dan penulis science, dalam sebuah artikelnya menceritakan bahwa 1592 artikel di google news memberitakan tentang seorang gadis yang meninggal tiba-tiba setelah mendapatkan vaksin pencegah kanker leher rahim(25). Namun, hanya 363 artikel yang memberitakan bahwa setelah di autopsi ternyata penyebab kematian si gadis adalah lantaran telah memiliki tumor parah di paru-parunya yang sebelumnya tak terdiagnosa. Ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan media dalam pemberitaan ternyata bisa turut andil  dalam penyebaran rumor tak sedap tentang vaksin.

 

Dampak menolak imunisasi

 

Padahal dampak dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini tidak sederhana, malah bisa mengancam nyawa. Dengan menolak imunisasi, sebenarnya yang rugi bukan anak  sendiri, tapi kita juga jadi membahayakan anak lain. Mari kita belajar dari merebaknya kasus pertusis di Amerika Serikat tahun 2010, beberapa sekolah harus ditutup dan setidaknya sepuluh bayi meninggal akibat merebaknya pertusis ini(11). Dan sejak tahun 2007, akibat gerakan anti vaksinasi, telah terjadi 77.000  penyakit yang sebetulnya bisa dicegah.  Dampak secara tidak langsungnya, gerakan anti vaksinasi ini juga telah mengakibatkan 700 kematian dalam rentang tahun yang sama.

 

Bukti-bukti ilmiah tentang manfaat vaksin sudah begitu banyak. Beragam data terpercaya menunjukkan bahwa bila angka cakupan vaksinasi menurun maka wabah penyakit akan muncul(11, 21). Masih perlu bukti lainnya? Selain fakta di Amerika Serikat tentang pertusis, bukti nyata  juga baru saja terjadi di Indonesia dengan merebaknya kasus Diptheri di Jawa Timur. Kasus diptheri tersebut telah menyerang 300 orang dan 11 anak meninggal karenanya. Artikel yang berjudul ‘Biofarma jawab pro kontra imunisasi’(12) mengaminkan bahwa dalam 6 tahun belakangan  cakupan imunisasi di Indonesia memang menurun dan salah satunya terjadi karena gerakan anti imunisasi. Kejadian ini sungguh membuat miris mengingat diphteri adalah penyakit ‘urdu’ yang sudah lama  kasusnya tidak ditemukan berkat adanya vaksinasi. Bukti lain lagi terjadi pada merebaknya kasus campak  baru-baru ini, yang terjadi di negara-negara dengan  angka cakupan vaksinasi turun seperti di Prancis, Belgia, Jerman, Romania, Serbia, Spanyol, Macedonia dan Turkey (11). Baru saja di tahun 2011 juga terjadi 334 kasus campak di Inggris, padahal tahun sebelumnya hanya 33 kasus.

 

Meskipun tampaknya sedikit, tapi kerugian akibat merebaknya penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi ini sungguh tak sedikit. Sebuah laporan kasus yang ditulis dalam Oxford jurnal(13) menjadi contohnya. Dilaporkan, seorang wanita yang tidak pernah mendapat imunisasi campak kemudian terkena campak lalu pergi ke sebuah rumah sakit di Swiss. Akibatnya setelah itu 14 orang tertular campak dari si wanita, termasuk 4 orang anak-anak. Kerugian yang ditimbulkan hanya dari 1 wanita ini diperkirakan berkisar $800.000, belum lagi dampak  kesakitan yang ditimbulkan pada 14 orang itu. Lihat, hanya dari satu orang saja yang menolak vaksinasi, ternyata dampaknya sungguh besar.

 

Data dalam negeri dari Jawa Barat mencatat bahwa pada tahun 2010 telah terjadi 25 KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit campak, dengan total 739 penderita, sedangkan pada tahun 2011 status KLB meningkat menjadi 35 kali dengan penderita sebanyak 950 orang(14). Kerugian yang ditimbulkan  sungguh besar, bukan hanya korban tapi juga biaya. Menurut menteri kesehatan, bila terjadi KLB di suatu daerah, dana yang dibutuhkan adalah 8 miliar rupiah, itu pun masih harus dibantu anggaran dari pusat sebesar 13-14 miliar(22). Jumlah uang  yang seharusnya tak perlu terbuang. Sungguh disayangkan.

 

Isue anti-imunisasi di Indonesia

 

Imunisasi hanyalah konspirasi Yahudi dan genocide

 

Bila kita tengok lebih dalam tentang isu anti imunisasi di Indonesia, belakangan kerap muncul artikel-artikel dan buku-buku bertuliskan ‘Bahaya imunisasi dan konspirasi yahudi’ lalu isinya kerap mencantumkan kalimat seperti ‘Imunisasi bertujuan untuk melenyapkan sebuah umat’. Teori konspirasi dilandasi oleh asumsi, kecurigaan yang seringnya tidak rasional, dan lebih memunculkan emosi sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Meski begitu, teori konspirasi sangat mudah berkembang dan dipercaya orang, namun sulit untuk dihilangkan(15).

 

Goertzel T (2010) (16), dalam tulisannya yang berjudul ‘Conspiracy theories in science’ mengakui bahwa karena hal-hal  yang tidak objektif diatas, para ilmuwan sering enggan untuk terlibat dalam diskusi teori konspirasi. Meskipun para ilmuwan telah bekerja sangat keras untuk tetap objektif dan rasional, misalnya dengan mensyaratkan tahapan-tahapan ilmiah dalam setiap penelitian; mensyaratkan bahwa setiap jurnal harus dikritisi lagi oleh sesama ilmuwan (peer reviewed) dan anonym pula, tapi tetap saja hasil kerja para ilmuwan akan diserang oleh teori konspirasi.

Ketakutan terhadap science dan keyakinan terhadap teori konspirasi  ini dampaknya sungguh tidak sederhana. Kasus desas desus MMR (Measleas, Mums, Rubela)  vaksin menyebabkan autism di Inggris  di tahun 1998 telah menyebabkan angka cakupan imunisasi di Inggris menurun tajam(17). Akibatnya  wabah campak dan gondongan disana merebak dan menyebabkan kematian serta cacat berat serta permanen. Meskipun Andrew Wakefield, dokter yang pertama kali membuat issue tersebut telah dikenakan sangsi (dicabut ijin prakteknya) dan MMR telah dinyatakan tidak ada hubungannya dengan autism(23), tapi dampak kematian dan penyakit yang ditimbulkan telah terjadi dan hanya bisa disesali.

 

Ketakutan akan science ini bukan sesuatu yang baru. Benjamin Franklin juga dulu takut  mengimunisasi keluarganya untuk melawan penyakit smallpox. Namun kemudian dia menyesal ketika anak lelakinya meninggal di tahun 1736 akibat penyakit tersebut(16). Contoh lain akibat dari konspirasi adalah issue tentang penyangkalan terhadap AIDS, yang meyakini bahwa penyakit AIDS bukan disebabkan oleh HIV. Ketika Afrika Selatan dipimpin oleh presidennya Thabo Mbeki yang mendukung ide penyangkalan ini, konsekuensinya  sungguh hebat(18). Mereka menolak pengobatan untuk AIDS sehingga akibatnya di tahun 2000 hingga 2005,  terjadi 330.000 kematian akibat AIDS, 117.000 kasus baru HIV  dan 35.000 bayi  juga diperkirakan terinveksi virus HIV. Data-data tersebut menunjukkan bahwa dalam halscience, akibat dari meyakini sebuah teori konspirasi  sungguh bisa membahayakan.

Namun, meski dampak yang ditimbulkan dari teori konspirasi telah diketahui, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat, akhirnya keputusan untuk mempercayai teori ini atau tidak, berpulang pada masing-masing individu. Keputusan yang dibuat tentu tak bisa  main-main, karena akibatnya berhubungan dengan nyawa orang lain.

 

ASI bisa menggantikan imunisasi

 

Salah satu saran dari para anti imunisasi adalah menawarkan ASI sebagai alternatif untuk menggantikan imunisasi. Apakah memang ASI bisa menggantikan imunisasi?

 

ASI memang mengandung antibodi untuk melawan kuman, terutama jenis IgA (Imunoglobulin A) (19). Antibodi adalah protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan benda asing yang masuk (antigen) seperti bakteri, virus maupun toxin. Tubuh membuat imunoglobulin yang berbeda untuk melawan antigen yang berbeda pula. Misalnya antibodi untuk penyakit cacar air akan berbeda dengan jenis antibodi untuk penyakit pneumonia.

 

Sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari  antibodi  ibunya (IgG) yang disalurkan lewat placenta selama dalam kandungan. Seperti disebutkan sebelumnya, bayi yang mendapat ASI juga akan mendapatkan tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Tetapi perlindungan yang didapatkan si bayi tersebut (baik dari antibodi ibu maupun ASI) tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifatnya pun hanya sementara. IgG ini akan menghilang menjelang si anak berusia setahun.

 

Sebagai contoh, antibodi dari ibu akan memberikan perlindungan sementara terhadap penyakit campak hingga antibodi ibu menghilang saat 9 bulan. Itulah mengapa vaksinasi campak diberikan saat anak berusia 9 bulan (15 bulan untuk MMR).  Namun  meski ampuh melawan penyakit campak, antibodi ibu tidak memberikan perlindungan terhadap penyakit pertusis (batuk rejan). Sedangkan untuk ASI, antibodi dalam ASI  lebih efektif bekerja melawan kuman-kuman yang ada di pencernaan tapi kurang efektif untuk melawan penyakit infeksi pernafasan.

 

Jadi meskipun bayi sudah mendapat kekebalan dari si ibu dan juga dari ASI, tetap saja tidak bisa menggantikan imunisasi. Sebab, selain alasan yang sudah disebutkan diatas, imunisasi  juga bersifat spesifik untuk penyakit tertentu. Imunisasi bisa melindungi penyakit-penyakit spesifik yang tidak bisa (atau tidak cukup) dilakukan oleh antibodi ibu dan antibodi dari ASI.

 

Kehalalan vaksinasi

 

Dalam sebuah tanya jawab soal ‘Pandangan Islam  terhadap imunisasi pada anak untuk melawan penyakit’, Yusuf Qardawi, seorang ilmuwan Islam  mengatakan bahwa menggunakan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah halal karena bertujuan untuk mencegah sesuatu yang membahayakan(19). Menjadi tugas seorang muslim untuk sebisa mungkin mencegah segala sesuatu yang membahayakan. Selain itu menurut beliau orangtua bertanggungjawab untuk sebisa mungkin melindungi anak-anaknya dan meningkatkan daya tahan tubuh mereka untuk melawan penyakit dan segala sesuatu yang berbahaya.

 

Dalam tanya jawab tersebut, Qardawi lalu secara spesifik menyoroti soal polio vaksin, dan menurut beliau, vaksin tersebut sudah digunakan sejak lama di seluruh dunia termasuk oleh lebih dari 50 negara muslim. Vaksin tersebut terbukti efektif untuk melawan penyakit polio, dan tidak ada ahli agama Islam terutama dari Universitas di Mesir yang keberatan untuk menggunakan vaksin ini.

 

Di Indonesia sendiri, Biofarma sebagai satu-satunya industri vaksin di Indonesia sudah memperoleh prakualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) setidaknya untuk vaksin dasar: polio, campak, hepatitis B, BCG, dan DTP (Difteri, Pertusis dan Tetanus) (20). Biofarma juga telah menjadi kiblat industri vaksin bagi 57 negara Islam dengan program vaksin halal dan berkualitas. Untuk menjamin vaksin produksinya termasuk kualifikasi halal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) diundang untuk menyaksikan proses pembuatan vaksin hingga akhirnya MUI mendukung vaksin-vaksin Biofarma dan membantu sosialiasi vaksin halal biofarma.

 

 

Bagaimana vaksin dibuat

 

Dalam kutipan salah satu artikel yang menolak imunisasi, tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:

 

Vaksin tersebut dibiakkan di dalam tubuh manusia yang bahkan kita tidak ketahui sifat dan asal muasalnya. Kita tau bahwa vaksin didapat dari darah sang penderita penyakit yang telah berhasil melawan penyakit tersebut. Itu artinya dalam vaksin tersebut terdapat DNA sang inang dari tempat virus dibiakkan tersebut.”

 

Benarkah demikian? Sebetulnya, pembuatan vaksin merupakan proses yang sangat komplex. Untuk membuat vaksin yang aman membutuhkan penelitian yang intensif dan fase-fase pengujian yang rumit. Pembuatan sebuah vaksin mulai dari penemuan penyebab penyakit hingga menjadi vaksin yang siap dipasarkan membutuhkan waktu sekira 50 tahun. Dengan kemajuan teknologi saat ini, waktu memang bisa dipersingkat, tapi tetap saja membutuhkan waktu yang lama(21).

 

Contoh proses pembuatannya seperi ilustrasi berikut(21). Jika para ahli telah setuju bahwa vaksin untuk mencegah penyakit X diperlukan, maka yang pertama dilakukan adalah menelaah dengan teliti tentang si bakteri atau virus X ini. Mereka akan mencari tahu makanan apa yang dibutuhkan oleh kuman X, bagaimana proses si kuman merusak jaringan paru misalnya. Lalu ahli genetica akan menganalisa gen si kuman X. Ahli imunologi akan meneliti bagaimana sistem kekebalan tubuh merespon si kuman X dan mengapa tubuh kadang gagal melawan si kuman. Mereka juga akan meneliti antigen kuman X yang bisa merangsang sistem kekebalan tubuh. Peneliti lain akan meneliti toxin yang dihasilkan oleh kuman X. Setelah para ahli ini mendapatkan informasi dasar tentang si kuman X, barulah mereka mulai mendesign vaksin yang mungkin bisa ampuh melawannya.

 

Cara pembuatan vaksin bermacam-macam, ada yang dengan melemahkan kumannya, ada yang dengan mematikan, hanya mengambil sebagian unit kuman yang memang bisa langsung merangsang sistem kekebalan tubuh (tidak seluruh kuman), mengambil toxin si kuman lalu mematikannya (toxoid vaccine), atau membuat link antigen (conjugate vaccine). Saat ini sedang dikembangkan juga DNA vaccine. DNA dari antigen si kuman X diambil, lalu dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Nanti DNA kuman dalam sel tubuh manusia itu akan menyuruh si sel untuk memproduksi antigen. Jadi sel tubuh sendiri yang akan menjadi ‘pabrik pembuat vaccine’: memproduksi sendiri antigen yang diperlukan untuk merangsang timbulnya kekebalan tubuh.  

 

Sehubungan dengan kutipan anti imunisasi diatas, terlihat jelas bahwa sebetulnya vaksin bukan didapat dari darah sang penderita penyakit. Tetapi vaksin berasal dari kuman yang bisa jadi memang diambil dari penderita yang sakit. Namun bukan DNA dari darah orang yang sakit yang diambil, tapi DNA si kuman atau kumannya secara utuhlah yang diambil. Jadi pembuatan vaksin tidak berhubungan dengan DNA si penderita penyakit.

 

Untuk melemahkan atau mematikan kuman yang hendak dijadikan vaksin, memang membutuhkan tempat pembiakan, bisa dengan media tumbuhan, binatang, ataupun jaringan tubuh manusia(24). Namun setelah si kuman berkembang biak lalu melemah atau dimatikan, hasil perkembangbiakan virus atau bakteri ini akan dipisahkan dari media untuk mengembangbiakkannya. Jadi tempat pembiakan ini hanya merupakan media dan selanjutnya yang digunakan untuk menjadi vaksin hanyalah kumpulan kuman-kuman yang dilemahkan atau dimatikan tadi.

 

Setelah vaksin berhasil dibuat, proses sehingga bisa dipasarkan masih panjang. Pertama, vaksin ini harus lulus uji test keamanan terhadap binatang terlebih dulu. Bila aman, lalu bisa lanjut ke fase uji I, yang dilakukan hanya pada sekira 10-20 orang. Bila lulus dan aman, baru bisa maju ke fase uji II yang dilakukan pada orang lebih banyak dengan jumlah ratusan. Setelah itu, si vaksin harus melewati lagi uji fase II b dan III yang diujikan pada orang lebih banyak lagi. Setelah lulus uji III pun masih harus dipantau keamanannya jika mulai dipasarkan. Intinya, pembuatan sebuah vaksin membutuhkan proses panjang dan kompleks untuk kemudian bisa lolos dipasaran.

 

Penutup

 

Data-data dan ajakan untuk mengkaji ulang tentang penolakan anti imunisasi telah dibeberkan. Manfaat dan kerugian imunisasi juga bisa ditimbang. Kita tidak hidup di jaman dimana penyakit-penyakit infeksi yang bisa dicegah dengan vaksinasi seperti polio, diptheri, pertusis (batuk rejan), campak, rubella (campak jerman), dan gondongan masih begitu merebak. Akibatnya apresiasi terhadap keberadaan vaksin untuk mencegah penyakit tersebut menjadi berkurang. Di abad ke 19 dan awal abad 20 dulu, ratusan ribu orang di Amerika Serikat terserang penyakit ini setiap tahunnya, puluhan ribu orang pun meninggal terutama anak-anak. Di jaman itu, mendengar nama-nama penyakitnya saja sudah membuat orang-orang ketakutan(21). Coba bayangkan jika vaksin tidak ditemukan lalu hingga saat ini jumlah anak yang menderita penyakit tersebut masih begitu besar, anak-anak kita terus-terusan terkena penyakit menular dan terancam meninggal, apa kita tak kelimpungan?

 

Tapi sekali lagi, akhir sebuah keputusan tentu saja berpulang pada masing-masing orang. Benar, bahwa setiap manusia punya hak atas sebuah pilihan, yang harus dihargai dan tentu tidak bisa diabaikan. Namun tolong, sebelum memutuskan, pikirkan dengan matang, cek dan ricek informasi yang datang. Gunakan hati, pikiran dan akal untuk mencari yang benar, bukan  sekedar ikut-ikutan atau karena pengaruh peer pressured, tekanan dari kawan dan handai taulan. Tolong digarisbawahi benar bahwa keputusan yang diambil kemudian, bukan hanya berpengaruh pada anak kita seorang, tapi juga beresiko menolong atau membahayakan anak-anak di sekitar. Ingat, keputusan kita bisa mematikan. Tegakah hati melihat anak-anak jiwanya terancam hanya karena kita gegabah dalam mengambil keputusan? (Agnes Tri Harjaningrum)

 

[ Download versi: e-book PDF, 23 halaman ]

 

Daftar Pustaka

 

  1. Mercer J, PhD. Lady Mary Wortley Montagu: A contributor to public health, about a fascinating figure in the history of vaccination. [Online].;2009 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.psychologytoday.com/blog/child-myths/200909/lady-mary-wortley-montagu-contributor-public-health
  2. ScienceDaily. How poxviruses such as samllpox evade the immune system. [Online].;2008 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.sciencedaily.com/releases/2008/01/080131122956.htm
  3. CDC. Smallpox Disease Overview. [Online].;2007 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.bt.cdc.gov/agent/smallpox/overview/disease-facts.asp
  4. WHO. Smallpox. [Online].;2001 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari:  http://www.who.int/mediacentre/factsheets/smallpox/en/
  5. The history of vaccines.Timeline. [Online].;2001 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari:  http://www.historyofvaccines.org/content/timelines/all
  6. Rosenhek J. Safe smallpox innoculation. [Online].;2005 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.doctorsreview.com/history/feb05-history/
  7. Poland GA, Jacobson RM. Understanding those who do not understand: a brief review of the anti-vaccine movement. Vaccine.[Online].;2010 [dikutip 15 October 2001]. Diakses dari: http://www.morrisonlucas.com/GL/vaccines/Vaccine_19_2440_anti_vaccine_movement.pdf
  8. Friedlander E. The Anti-Immunization Activists: A Pattern of Deception. [Online].;2010 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.pathguy.com/antiimmu.htm
  9. The College of Phycisian of Philadelphia. History anti vaccination movements. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.historyofvaccines.org/content/articles/history-anti-vaccination-movements

10.  CDC. Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) [Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.cdc.gov/vaccinesafety/Activities/vaers.html

11.  Los Angeles Time. Public Health: Not vaccinated, not acceptable? [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://articles.latimes.com/2011/jul/18/opinion/la-oe-ropeik-vaccines-20110718

12.  Antaranews. Biofarma jawab pro kontra imunisasi. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.antaranews.com/berita/278863/bio-farma-jawab-pro-kontra-imunisasi

13.  Lindsay A.The hazards of low vaccination rates. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.sonic.net/~medsoc/images/bulletins/AUGUST%202011%20EXCERPTS.pdf

14.  Fikri A. Selama 2011, penderita campak di Jawa Barat tembus 950 orang.  [Online].;2011 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari: http://www.tempointeraktif.com/hg/bandung/2011/10/18/brk,20111018-361978,id.html

15.  Pigden C. Conspiracy theory and conventional wisdom. [Online].;2007 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:  http://www.niu.edu/~gpynn/Pidgen_ConspiracyTheories&TheConventionalWisdom.pdf

16.  Goertzel T. Conspiracy theories in science. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:  http://www.nature.com/embor/journal/v11/n7/full/embor201084.html

17.  McIntyre  P dan Leask J. Improving uptake of MMR vaccine. [Online].;2008 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:  http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2287215/?tool=pmcentrez

18.  Chigwedere P, Seage GR, Gruskin S, Lee TH, Essex M (October 2008). "Estimating the Lost Benefits of Antiretroviral Drug Use in South Africa". Journal of acquired immune deficiency syndromes (1999) 49 (4): 410–415

19.  Immunization Advisory Centre University of Auckland. The infant immune system and immunization. [Online].;2006 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.immune.org.nz/site_resources/Professionals/Vaccinology/The_infant_immune_system_and_immunisation.pdf

20.  Majelis Ulama Indonesia. Biofarma ‘kiblat’ vaksin halal dunia. [Online].;2011 [dikutip 15 October 2011]. Diakses dari: http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=545%3Abio-farma-qkiblatq-vaksin-halal-dunia&catid=1%3Aberita-singkat&Itemid=50

21.  National Institute of Allergy and Infectious. Understanding vaccines, what they are how they work.  [Online].;2008 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.niaid.nih.gov/topics/vaccines/documents/undvacc.pdf

22.  Pramudiarja A, U. Satu saja anak tak diimunisasi efeknya bisa memicu wabah.   [Online].;2011 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://us.health.detik.com/read/2011/10/18/115311/1746520/764/satu-saja-anak-tak-diimunisasi-efeknya-bisa-memicu-wabah

23.  Triggle N. MMR doctor  struck from register. [Online].;2010 [dikutip 16 October 2011]. Diakses dari:http://news.bbc.co.uk/2/hi/health/8695267.stm

24.  Ellis R,W. New vaccines technology. [Online].;2001 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari:http://61.183.207.199/suite/resource/download.do?key=1754864

25.  Goldrace B. And now, nerd news. [Online].;2009 [dikutip 20 October 2011]. Diakses dari: http://www.badscience.net/2009/10/and-now-nerd-news/#more-1369