wanita biasa, yg ingin bahagia | Cuma kumpulan kopi paste, mengikat ilmu, kalo lupa tinggal nyari =)


Kamis, 25 September 2014

Jauhkan Anak dari Tathoyyur!

Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi

DUK! Terdengar suara keras dari halaman. Ternyata si kecil Fida’ terjatuh keras. Lalu sang ibu pun tergopoh-gopoh berlari dari dalam.“Nah… nak… itu tandanya harus berhenti main. Ayo masuk rumah!” Lain lagi di rumah tetangga. Sang anak yang sudah berusia 11 tahun mendengar pembantu di dapur berkata, “Aduh… nasinya basah… siapa ya yang sakit di kampung?”
Wahai ibu… kasihanilah anakmu dan keluarga yang menjadi tanggung jawabmu di rumah. Sungguh dengan terbiasa melihat dan mendengar kejadian semacam itu, maka akan mengendap dalam benak mereka perbuatan-perbuatan yang tidak lain merupakan tathoyyur. Padahal tidaklah tathoyyur itu melainkan termasuk kesyirikan. Apakah kita hendak mengajarkan kepada anak kesayangan kita dengan kesyirikan yang merusak fitrah tauhid kepada Allah? Wal’iyyadzubillah.

Tathoyyur
Tathoyyur atau thiyaroh secara bahasa diambil dari kata thair (burung). Hal ini dikarenakan tathoyyur merupakan kebiasaan mengundi nasib dengan menerbangkan burung; jika sang burung terbang ke kanan, maka diartikan bernasib baik atau sebaliknya jika terbang ke kiri maka berarti bernasib buruk. Dan tathoyur secara istilah diartikan menanggap adanya kesialan karena adanya sesuatu (An Nihayah Ibnul Atsir 3/152, Al Qoulul Mufid Ibnu Utsaimin, 2/77. Lihat majalah Al-Furqon, Gresik). Walaupun pada asalnya anggapan sial ini dengan melihat burung namun ini hanya keumuman saja. Adapun penyandaran suatu hal dengan menghubungkan suatu kejadian untuk kejadian lain yang tidak ada memiliki hubungan sebab dan hanya merupakan tahayul semata merupakan tathoyur. Misalnya, jika ada yang bersin berarti ada yang membicarakan, jika ada cicak jatuh ke badan berarti mendapat rezeki, jika ada makanan jatuh berarti ada yang menginginkan dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak ada dasarnya sama sekali.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]:131)

Syaikh Abdurrahman berkata, “Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Kesialan mereka, yaitu ‘Apa yang ditakdirkan kepada mereka.’ Dalam suatu riwayat, ‘Kesialan mereka adalah di sisi Allah dan dari-Nya.’ maksudnya kesialan mereka adalah dari Allah disebabkan kekafiran dan keingkaran mereka terhadap ayat-Nya dan rasul-rasul-Nya.”(Fathul Majid).

Sedangkan firman Allah yang artinya,
“Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yaasiin [36]:19)
Ibnul Qoyyim rohimahullah menjelaskan bahwa bisa jadi maksudnya adalah kemalangan itu berbalik menimpa dirimu sendiri. Artinya, tathoyyur yang kamu lakukan akan berbalik menimpamu (Fathul Majid).

Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan bahwa relevansi kedua ayat dalam masalah tathoyyur adalah tathoyyur berasal dari perbuatan orang-orang jahiliyah dan orang-orang musyrik. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga telah menafikan adanya tathoyyur dalam sabdanya,

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَ لاَ هَامَةَ صَفَرَ، زَادَ مُسلِمُ: وَلاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ
Artinya, “Tidak ada ‘adwa, tidak ada tathoyyur, tidak ada hamah dan tidak ada shafar.” (HR. Bukhori dan Muslim). Imam Muslim menambahkan dengan, “Tidak ada bintang dan tidak ada ghul (hantu).” (*)

(*) Penulis pada kesempatan ini hanya akan membahas penafian Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dengan adanya tathoyyur. Adapun pengertian istilah-istilah dalam hadits ini akan dibahas tersendiri dalam rubrik akidah, insya Allah.

Bahaya Mempercayai Tathoyyur
Ketahuilah wahai Ibu, sesungguhnya tathoyyur adalah perbuatan yang dapat merusak tauhid karena ia termasuk kesyirikan. Terdapat riwayat dari Ibnu Mas’ud rodhiallahu ‘anhu secara marfu’,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وماَ مِنَّا إلاَّ، وَلَكِنَّ اللّهض يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Tathoyyur adalah kesyirikan, tathoyyur adalah kesyirikan, dan tidak ada seorang pun dari kita kecuali (telah terjadi dalam dirinya sesuatu dari hal itu), akan tetapi Allah menghilangannya dengan tawakal.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menyatakan shahih dan menjadikan perkataan terakhir adalah dari perkataan Ibnu Mas’ud. LihatFathul Majid)

Syaikh Abdurahman bin Hasan menjelaskan bahwa thiyarah termasuk kesyirikan yang menghalangi kesempurnaan tauhid karena ia berasal dari godaan rasa takut dan bisikan yang berasal dari setan (Fathul Majid).

Wahai ibu… kesyirikan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah hingga sang pelaku bertaubat atas kesalahannya. Lalu bagaimana lagi jika kesyirikan yang kita lakukan diikuti oleh anak cucu kita. Itu berarti kita menanggung dosa-dosa mereka (karena telah mengikuti bertathoyyur) dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. Na’udzubillah mindzalik. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa melakukan amal keburukan maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

Keyakinan Adanya Tathoyyur
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sebaliknya manusia adalah jiwa yang lemah yang juga memiliki musuh-musuh yang akan selalu membisikan was-was dari arah depan, belakang, samping kiri dan kanan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dari Mu’awiyah bin Al Hakam bahwasannya ia berkata kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, ‘Di antara kami ada orang-orang yang bertathoyyur.’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah sesuatu yang akan kalian temukan dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu’.” (HR. Muslim)

Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata ketika mengomentari hadits ini, “Dengan ini Beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbukan dari sikap tathoyyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan pada sesuatu yang di-tathoyyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya itulah yang membuatnya ber-tathoyyur dan menghalangi dirinya, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.”

Hal ini jelas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan satu tanda apapun yang menunjukkan adanya kesialan atau menjadi sebab bagi sesuatu yang dikhawatirkan manusia. Ini adalah termasuk kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karena jika ada tanda-tanda semacam itu, tentu manusia tidak akan tenang dalam menjalankan aktifias di dunia. Maka jika muncul rasa was-was dalam hati seseorang karena mendengar atau melihat sesuatu yang itu merupakan tathoyyur, maka hendaklah ia mengucapkan,

اللّهُمَّ لاَ يَأْتِي بِااْحَسَنَاتِ إلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّآتِ إلاَّ أنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إلاَّ بشكَ
“Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih)

Adapula riwayat hadits dari Ibnu ‘Amr, “Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena tathoyyur, maka ia benar-benar telah berbuat kemusyrikan. Mereka berkata, ‘Lalu apa yang dapat menghapus itu?’ Ia berkata, ‘Hendaknya orang itu berkata,

اللًّهُمَّ لاَ خَيْرَ إلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إلاَّ طَيْرُكَ
‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan dari engkau dan tidak ada Ilah yang haq selain Engkau.'” (HR.Ahmad)

Jauhkan Anak dari Tathoyyur
Terkadang memang terjadi pada diri sang ibu atau anggota keluarga lain yang mengeluarkan kalimat atau perbuatan yang pada hakekatnya adalah tathoyyur baik disadari atau tidak. Maka kini ketika menyadari bahwa itu adalah kalimat tathoyyur, hendaknya anggota keluarga saling mengingatkan dan menggantinya dengan kalimat yang mengarahkan anak untuk kecintaannya pada dinul Islam. Hal ini dikarenakan anak sangat mudah menyerap hal-hal yang didengar atau dilihatnya dan akan terus membekas sampai sang anak dewasa (dengan tanpa menyadari itu adalah sebuah kesalahan atau kebaikan). Penulis memberikan beberapa contoh yang mungkin biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika anak jatuh atau terluka, maka tidak dikatakan, “Itu tandanya kamu begini dan begitu. Tidak usah diteruskan, dll.” Tetapi karena ia kesakitan dan menangis maka doakanlah ia semacam doa, “La ba’sa thohurun insya Allah.” Dengan demikian anak terbiasa mendengar doa tersebut dan sang ibu menjalankan salah satu sunnah Nabishollallahu ‘alaihi wasallam.

Termasuk kesalahan dalam mendidik adalah ketika mereka terluka kemudian yang disalahkan adalah benda-benda di sekitarnya semisal, “Batunya nakal ya”. Ini hanya akan mengajarkan anak selalu mencari-cari kesalahan pada yang lain tanpa melihat kesalahan dirinya sendiri.

Contoh lainnya, ketika ada yang bersin, tidak dikatakan, “Wah ada yang ngomongin tuh”atau perkataan-perkataan yang tidak berdasar lainnya. Tetapi jika yang bersin mengucapkan “Alhamdulillah”, maka jawablah dengan “Yarhamukallah” yang kemudian akan dijawab kembali oleh yang bersin dengan bacaan, “Yahdikumullah wa yushlih baalakum”.
Bacaan-bacaan ini adalah termasuk sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang perlu dibiasakan pada diri anak. Dalam hal pendidikan pada anak yang banyak memerlukan pembiasaan, perlu adanya kerjasama dari anggota keluarga untuk saling mendukung dalam mendidik anak. Pembiasaan pada anak juga terpengaruh dari kebiasaan yang ada pada orang tua dan keluarga. (Lihat kitab Hisnul Muslim karya Sa’id bin Wahf al Qothoni -sudah diterjemahkan- untuk mengetahui do’a-do’a menurut sunnah Rasulullahshollallahu ‘alaihi wasallam yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari).

Sungguh manis apa yang bisa kita tanamkan kepada sang anak ketika kecil jika mengikuti sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Insya Allah buahnya akan kita rasakan baik dalam waktu yang relatif dekat atau ketika sang anak telah besar nantinya. Ini juga menunjukkan betapa Nabi kita shollallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan segala hal yang baik untuk umatnya. Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam kepada kita.

Maraji':
  1. Majalah Al Furqon edisi 5 tahun III.
  2. Fathul Majid (terjemahan edisi revisi). Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu Syaikh. Cetakan kelima. 2004.
  3. Kitab Tauhid (terjemahan). Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Darul Haq.
***

Selasa, 16 September 2014

Pakai Jilbab di Luar Rumah, Lepas Jilbab di Dalam Rumah, Sudah Benarkah?

Pakai Jilbab di Luar Rumah, Lepas Jilbab di Dalam Rumah, Sudah Benarkah?


18 golongan orang
Jilbab adalah salah satu syariat Islam yang bermanfaat menjaga kehormatan wanita. Seluruh aurat ditutup dari pandangan lelaki yang bukan mahram, di mana pun itu.
Oleh sebab itu,
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada para wanita beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka. Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara lelaki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)
Ayat di atas merinci beberapa orang. Seorang wanita muslimah boleh melepas jilbab di hadapan mereka. Mari kita runut kembali:
  • Suami.
  • Ayah.
  • Ayah suami (mertua).
  • Putra (anak lelaki kandung).
  • Putra suami (anak lelaki tiri).
  • Saudara laki-laki.
  • Putra saudara lelaki (keponakan lelaki dari saudara lelaki).
  • Putra saudara perempuan (keponakan lelaki dari saudara perempuan).
  • Wanita-wanita Islam.
  • Budak-budak.
  • Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) *)
  • Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23)
Adapun pada surat An-Nisa di atas, disebutkan wanita yang menjadi mahram bagi seorang lelaki. Mari kita runut kembali.
  • Ibu.
  • Anak perempuan.
  • Saudara perempuan.
  • Saudara bapakmu yang perempuan (tante/bibi).
  • Saudara ibumu yang perempuan (tante/bibi).
  • Anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki (keponakan perempuan).
  • Anak perempuan dari saudaramu yang perempuan (keponakan perempuan).
  • Ibu susuan.
  • Saudara perempuan sepersusuan.
  • Mertua perempuan (ibu mertua).
  • Anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri (anak tiri yang ibunya telah dinikahi oleh sang lelaki dan telah dia setubuhi dalam ikatan nikah tersebut).
Dari rincian dalam surat An-Nisa tersebut, bisa dipahami bahwa mahram bagi seorang wanita adalah:
  • Anak lelaki kandung.
  • Ayah kandung.
  • Saudara lelaki kandung.
  • Keponakan lelaki.
  • Om/paman.
  • Anak susuan.
  • Saudara lelaki sepersusuan.
  • Menantu lelaki.
  • Ayah tiri (Ibu si anak perempuan telah menikah lalu berhubungan badan dengan suami barunya tersebut. Dengan demikian, si ayah tiri telah menjadi mahram bagi si anak perempuan. Namun, bila si ibu dan suami barunya [si ayah tiri] tersebut belum berhubungan badan lalu akhirnya bercerai, maka si ayah tiri bukan mahram bagi si anak perempuan).
Untuk mengetahui di hadapan siapa saja seorang wanita muslimah boleh melepas jilbabnya, surat An-Nur: 31 dan surat An-Nisa: 23 saling melengkapi satu sama lain. Oleh sebab itu, bila kita gabungkan keduanya, maka bisa kita ketahui bahwa seorang wanita muslimah boleh melepas jilbabnya di hadapan:
  1. Suami.
  2. Ayah kandung.
  3. Ayah suami (mertua).
  4. Putra-putra (anak lelaki).
  5. Putra-putra suami (anak tiri).
  6. Saudara lelaki kandung.
  7. Putra-putra saudara lelaki (keponakan lelaki).
  8. Putra-putra saudara perempuan (keponakan lelaki).
  9. Anak lelaki kandung.
  10. Om/paman.
  11. Anak susuan.
  12. Saudara lelaki sepersusuan.
  13. Menantu lelaki.
  14. Ayah tiri (Ibu si anak perempuan telah menikah lalu berhubungan badan dengan suami barunya tersebut. Dengan demikian, si ayah tiri telah menjadi mahram bagi si anak perempuan. Namun, bila si ibu dan suami barunya [si ayah tiri] tersebut belum berhubungan badan lalu akhirnya bercerai, maka si ayah tiri bukan mahram bagi si anak perempuan).
Selain 14 orang mahram tersebut, ada lagi beberapa orang yang di hadapannya seorang wanita muslimah boleh membuka jilbab, yaitu:
  1. Wanita-wanita Islam.
  2. Budak-budak.
  3. Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita).
  4. Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dengan demikian, totalnya menjadi 18 golongan orang.
Berjilbab tanpa mengenal tempat
Hanya di hadapan 18 golongan di atas saja seorang wanita muslimah boleh membuka jilbabnya. Adapun di hadapan selainnya, maka aurat wajib ditutup. Itu berlaku di mana pun, tanpa mengenal tempat; di dalam maupun di luar rumah.
Jika ada lelaki non mahram di dalam rumah, sang muslimah wajib menutup auratnya agar tak terlihat oleh si lelaki. Namun jika si lelaki sudah pergi, dia boleh kembali melepaskan jilbabnya.
Contohnya dalam keseharian:
- Hindun dan suaminya kedatangan tamu, sepasang suami-istri. Hindun mesti berjilbab dan menutup auratnya ketika berada di hadapan tamunya itu.
- Zainab, ayah, dan ibunya berkunjung ke rumah kakak perempuan Zainab yang telah menikah. Selama beberapa jam mereka berada di sana. Abang ipar Zainab bukanlah mahram bagi Zainab, sehingga Zainab tetap wajib menutup aurat ketika di hadapan abang iparnya, meskipun itu di dalam rumah kakaknya sendiri.
- Sarah sedang berada di kamar ketika adik lelakinya datang bersama teman lelakinya. Mereka berdua kemudian masuk rumah dan duduk mengobrol di ruang tamu. Kamar Sarah berada di samping ruang tamu, sehingga pintu kamarnya terhubung dengan ruang tamu. Karenanya, bila Sarah ingin keluar kamar saat itu, dia wajib berjilbab dan menutup aurat karena teman adiknya sedang berada di ruang tamu.
- Maryam selalu menyapu pekarangan rumahnya setiap pagi. Pekarangan rumah itu tepat berada di tepi jalan; kendaraan lalu-lalang di sana. Dengan demikian, Maryam wajib berjilbab dan menutup aurat ketika menyapu pekarangan rumahnya.
Jadi, seorang muslimah wajib mengenakan jilbab dan menutup auratnya bila ada lelaki yang bukan mahramnya atau orang yang tidak tergolong dalam 18 golongan yang telah kita sebutkan di atas. Itu wajib dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Catatan:
*) mengenai poin pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita (’التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَال ’) ada 3 kriterianya, yaitu:
  • lelaki baligh (Allah sebut rijal),
  • hidupnya bergantung ke orang lain (tidak bisa mandiri),
  • tidak memiliki syahwat terhadap wanita. Seperti orang ideot, orang impoten yang tidak punya gairah, atau orang gila. (Tafsir as-Sa’di, 566)

Penulis: Athirah Mustadjab (Ummu Asiyah)
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Senin, 08 September 2014

Fase Tadrib dan Fase Taklif pada Anak

Fase Tadrib dan Fase Taklif pada Anak

Oleh: Adriano Rusfi


Dari sisi beban tanggung jawab agamanya, maka perjalanan hidup manusia terbagi dalam tiga periode: masa pra-latih (di bawah 7 tahun), masa pelatihan/ tadrib (7 - 12 tahun), dan masa pembebanan/taklif (di atas 12 tahun).

Maka orangtua yang bijak adalah orangtua yang menempatkan sang anak pada tempatnya. Mereka tak akan membebani anak sebelum masanya. Dalam hal ini tak berlaku kaidah lebih cepat lebih baik. Hendaklah para orangtua takut akan datangnya Hari Pengadilan, di mana seorang anak mengadukan orangtuanya kepada Allah, karena mereka dipaksa latih sebelum waktunya, dan dibebani taklif syar'ie sebelum waktunya.

Saat ini banyak para orangtua dengan semangat beragama menggebu-gebu ingin sesegera mungkin melekatkan identitas syar'iyyah kepada anak-anaknya. Padahal agama menetapkan bahwa pelatihan dan pembiasaan syari'ah dimulai pada usia 7 tahun. Contohnya : banyak orangtua yang telah menjilbabkan anak gadisnya pada usia yang masih sangat kecil, jauh sebelum 7 tahun, bahkan bayi. Maksudnya tentunya sangat baik, dalam rangka pembiasaan sejak dini.

Begitu juga dengan orangtua yang menargetkan jumlah hafalan Al-Qur'an tertentu pada anak usia dini. Status ini saya buat karena saya sedang menghadapi kasus siswa-siswa SMA yang dilaporkan orangtua mereka sebagai "tak lagi berkomitmen pada Islam". Padahal waktu kecilnya mereka ditanamkan Al-Islam dengan baik dan ketat.

Dalam Islam, ada tiga periodisasi pendidikan yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan dibakukan oleh sejumlah ulama, seperti DR. Abdullah Nasih 'Ulwan dalam kitab "Tarbiyatul Aulad".

Usia tadrib dimulai dari 7 tahun. "Perintahkanlah anakmu shalat saat dia telah berusia 7 tahun" [Hadits]. Sedangkan usia taklif adalah saat aqil-baligh (agama menyebut mereka sebagai mukallaf).

Kalau toh ada sejumlah ulama yang mengalami akselerasi, saya yakin itu bukan hasil drilling para orangtua mereka. Tapi atas kesadaran sendiri karena nilai-nilai cinta yang telah ditanamkan para orangtua. Lalu orangtua memandu anak yang atas cinta dan kesadaran sendiri ingin menghafal AlQur'an dsb.

Jadi, walaupun kewajiban belajar calistung baru dimulai pada usia 7 tahun, tapi jika anak atas kemauan sendiri ingin belajar pada usia 5 tahun, ya silakan langsung dipandu. Jangan ditunda-tunda dengan alasan "belum waktunya". Dan kunci dari "kesadaran sendiri" ini adalah KETELADANAN.

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perintahkanlah anak-anakmu shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun".

Saat itu saya bertanya-tanya, kenapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak berkata: "Perintahkanlah anak-anakmu shalat sedini mungkin" ???

Ternyata masa 7 tahun itu adalah masa memulai sebuah proses tadrib syar'ie. Teori-teori psikologi sangat banyak bicara rentang usia 7 - 12 tahun ini. Ternyata, Allah dan RasuNya selalu benar. Maka sebagai ummatnya, kita ya mengikut Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saja lah...

Tidak ada salahnya anak melatih dirinya sebelum itu, selama atas kesadarannya sendiri, hasil motivasi dan keteladanan dari kedua orangtuanya. Itulah yang disebut dalam psikologi sebagai Learning Readiness.

Tugas pendidikan sebelum 7 tahun adalah: TANAMKAN CINTA ATAS ALLAH. AL-ISLAM, RASULULLAH DAN ALQUR'AN, MELALUI MOTIVASI DAN KETELADANAN. Jika karena dorongan cinta itu akhirnya anak atas KEHENDAKNYA SENDIRI ingin mentadrib dirinya dengan syari'ah sebelum 7 tahun, maka tak dilarang membantu anak untuk melakukannya.

Misalkan contoh tadi, memaksakan berjilbab pada usia pra-latih itu nggak boleh, Tapi kalau anaknya sendiri yang kepengen, karena termotivasi atas keteladanan orangtuanya, ya silakan. Itu alhamdulillah banget.

Sekali lagi, jangan sampai anak kita kelak di Mahkamah Allah mengcomplain kita, karena kita merampas hak-hak yang telah Allah berikan pada mereka.

KENYANGKAN HAK ANAK PADA WAKTUNYA, MAKA IA AKAN MELAKSANAKAN KEWAJIBANNYA PADA WAKTUNYA.

Lebih banyak orang tua yang "santai" namun bertanggung jawab dalam pendidikan agama anak-anaknya, ternyata menghasilkan anak-anak yang lebih komit pada agamanya, daripada analk-anak hasil drilling dan paksaan orangtua.

Jangan lupa : KEHIDUPAN BAGAIKAN LARI MARATHON, DAN AKHIR ITU LEBIH PENTING DARIPADA PERMULAAN.

Pendidikan dasar harus kuat landasan agamanya. Yang salah adalah kalau di sekolah agama tersebut anak-anak kurang mendapatkan sentuhan aqidah, tapi malah syari'ah dan akhlaq melulu. Walau yang utama adalah tanggung jawab pendidikan agama itu di rumah, bukan di sekolah.

Allah menyatakan bahwa syariah itu taklif (beban), sesuatu yang anak nggak suka. Hanya aqidah lah yang membuat segala hal yang berat menjadi terasa ringan.

TAK AKAN ADA ANAK YANG MENCINTAI SHALAT. NAMUN JIKA DIA MENCINTAI ALLAH, MAKA DIA AKAN MENEGAKKAN SHALAT DENGAN PENUH KECINTAAN.

Landasan dari semua amal shaleh adalah iman/aqidah. Iman itu yang akan melahirkan kecintaan pada alhaq dan kebencian pada albathil. Rasulullah sendiri membangun iman selama 13 tahun di Makkah, baru menegakkan sebagian besar syari'ah di Madinah. Maka, kunci utama pendidikan aanak adalah keimanan. Inilah yang harus ditekankan pada pendidikan usia dini.

MISI PENDIDIKAN ANAK KITA ADALAH MEMBENTUK MUSLIM KAAFFAH, BUKAN MEMBENTUK MUSLIM SPESIALIS AGAMA.

Ada anak dari kecil sudah dipesantrekan, sudah hafidz qur'an. Tapi menginjak dewasa malah kabur dari pesantren. Ada dua penyebabnya:
Pertama, iman dan keridhaan atas Allah sebagai rabb, Islam sebagai AdDiin, Muhammad sebagai Rasul tidak lagi menjadi landasan pendidikan agama anak-anak kita. Segalanya dibentuk paksa.
Kedua, segalanya dilakukan tidak pada waktunya. Ada semangat keislaman yang menggebu-gebu, tapi tanpa ilmu.

ANAK-ANAK YANG DIPESANTRENKAN, MAKA DO'A ANAK TAK AKAN SAMPAI PADA ORANGTUANYA, KARENA BUKAN ORANGTUA MEREKA YANG MENDIDIK MEREKA DIWAKTU KECIL.

Pesantrenkanlah anak setelah mereka aqil-baligh. Karena tujuan dari pendidikan adalah imunisasi, bukan sterilisasi. Yang kita inginkan adalah  nak yang imun: anak yang kebel dari penyakit, walau disekitarnya banyak penyakit. Anak yang disterilisasi dari "penyakit" justru akan mudah terkena penyakit. Dan Allah baru akan mengakui hambaNya beriman jika hambaNya telah melalui ujian iman.

sumber: www.facebook.com/adriano.rusfi
http://mediadidik.blogspot.com/2014/09/fase-tadrib-pelatihan-dan-fase-taklif.html