wanita biasa, yg ingin bahagia | Cuma kumpulan kopi paste, mengikat ilmu, kalo lupa tinggal nyari =)


Rabu, 06 Februari 2019

Hukum Pria Memakai Pakaian Warna Kuning dan Merah

Hukum Pria Memakai Pakaian Warna Kuning dan Merah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Beberapa hari di pikiran ini menemukan sedikit problema. Ketika kami mengajarkan kitab fiqh Asy Syaukani Ad Durorul Bahiyah, saat memasuki bahasan hal-hal yang semestinya dihindarkan ketika akan melaksanakan shalat, Asy Syaukani menyinggung masalah warna pakaian yang terlarang, di antaranya adalah pakaian warna kuning dan merah. Karena menemui kebuntuan dalam pikiran, kami berusaha mencari pembahasan yang memuaskan mengenai larangan tersebut. Hasil penelusuran kami inilah yang akan kami sajikan dalam tulisan kali ini. Semoga Allah memberikan kemudahan.


Hukum Asal Pakaian


Perlu diketahui suatu kaedah yang biasa disampaikan oleh para ulama, “Hukum asal pakaian adalah mubah (artinya: dibolehkan)”. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,


هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ


“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)


Oleh karena itu, barangsiapa yang mengklaim bahwa pakaian warna tertentu itu haram atau terlarang dikenakan, tentu saja ia harus membawakan dalil. Jika tidak ada dalil, maka asalnya dibolehkan.


Tiga Warna Pakaian Pria yang Ditinjau


Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum warna pakaian laki-laki dalam tiga masalah berikut.


Warna merah polos yang tidak bercampur dengan warna lainnya. Sedangkan jika warna merah pada pakaian tersebut bercampur dengan warna lainnya, maka ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.Warna yang dicelup dengan ‘ushfur (sejenis tumbuhan dan menghasilkan warna merah secara dominan[1]). Adapun jika menghasilkan warna merah selain dengan ‘ushfur, maka termasuk dalam pembahasan nomor satu.Warna yang dicelup dengan za’faron (sejenis tumbuhan yang menghasilkan warna kuning). Adapun jika dicelup dengan warna kuning dari selain za’faron, seperti ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.[2]


Tanaman ‘ushfur (english: Safflower)


Tanaman za’faron (english: Safron)


Pakaian yang Dicelup ‘Ushfur


Pakaian ini terlarang berdasarkan hadits-hadits berikut ini:


Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash,


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ يَحْيَى حَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ ابْنَ مَعْدَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ جُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَخْبَرَهُ قَالَ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَىَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ « إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا ».


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam; Telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Yahya; Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim bin Al Harits; Bahwa Ibnu Ma’dan; Telah mengabarkan kepada kaminya, Jubair bin Nufair; Telah mengabarkan kepadanya, dan ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash; Telah mengabarkan kepadanya, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat aku memakai dua potong pakaian yang dicelup ‘ushfur, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir, maka janganlah kamu memakainya.” (HR. Muslim no. 2077)


Dalam riwayat lainnya disebutkan,


حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِىُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ سُلَيْمَانَ الأَحْوَلِ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَىَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ « أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا ». قُلْتُ أَغْسِلُهُمَا. قَالَ « بَلْ أَحْرِقْهُمَا ».


Telah menceritakan kepada kami Daud bin Rusyaid; Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayyub Al Mushili; Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Nafi’ dari Sulaiman Al Ahwal dari Thawus dari ‘Abdillah bin ‘Amru ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat saya sedang mengenakan dua potong pakaian yang dicelup ‘ushfur, maka beliau bersabda, “Apakah ibumu yang menyuruh seperti ini?” Aku berkata, “Aku akan mencucinya”. Beliau bersabda: ‘Jangan, akan tetapi bakarlah.’ (HR. Muslim no. 2077)


Hadits ‘Ali bin Abi Tholib,


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُنَيْنٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ لُبْسِ الْقَسِّىِّ وَالْمُعَصْفَرِ وَعَنْ تَخَتُّمِ الذَّهَبِ وَعَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِى الرُّكُوعِ.


Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata; ‘Aku membaca Hadits Malik dari Nafi’ dari Ibrahim bin ‘Abdullah bin Hunain dari Bapaknya dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang berpakaian yang dibordir (disulam) dengan sutera, memakai pakaian yang dicelup ‘ushfur, memakai cincin emas, dan membaca Al Qur’an saat ruku’.” (HR. Muslim no. 2078)


Para ulama berselisih pendapat mengenai pakaian yang dicelup ‘ushfur. Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama sesudahnya membolehkan mengenakan pakaian semacam itu. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik. Akan tetapi, Imam Malik berkata bahwa lebih baik selain pakaian tersebut. Sekelompok ulama lainnya memakruhkannya karena larangan yang dimaksudkan dibawa kepada hadits di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengenakan pakaian hullah hamro’ (pakaian berwarna merah). Sebagaimana Al Barro’ bin ‘Azib berkata,


كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَرْبُوعًا ، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), saya melihat beliau mengenakan pakaian merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari no. 5848)


Dalam riwayat Muslim, Al Barro’ bin ‘Azib mengatakan,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ -صلى الله عليه وسلم-.


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berperawakan sedang, perpundak bidang, rambutnya lebat terurai ke bahu hingga sampai kedua cuping telinganya. Pada suatu ketika, beliau pernah mengenakan pakaian berwarna merah, tidak ada seorangpun yang lebih tampan dari beliau” (HR. Muslim no. 2337)


Juga ada riwayat dari Ibnu ‘Umar yang menceritakan,


وَأَمَّا الصُّفْرَةُ فَإِنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصْبُغُ بِهَا ، فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبُغَ بِهَا


“Adapun warna kuning, maka sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelup dengannya. Aku pun senang mencelup dengan warna tersebut.” (HR. Bukhari no. 5851 dan Muslim no. 1187)


Sebagian ulama memaksudkan larangan pakaian yang dicelup ‘ushfur adalah larangan bagi orang yang berihrom dengan haji atau umroh sebagaimana maksud dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.


Al Baihaqi mengatakan, “Imam Asy Syafi’i melarang memakai pakaian yang dicelup za’faron dan membolehkan pakaian yang dicelup ‘ushfur. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Pakaian yang dicelup ‘ushfur diberi keringanan karena aku belum mendapati dalil larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini kecuali riwayat dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa beliau dilarang menggunakan pakaian semacam itu. Sedangkan dalam hadits tersebut tidak dikatakan, “Kalian telah dilarang”. Al Baihaqi lantas mengatakan, “Telah datang dalil tegas yang melarang (pakaian yang dicelup ‘ushfur) secara umum. Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash yang dikeluarkan oleh Imam Muslim yang melarang pakaian semacam itu.” Al Baihaqi lantas menegaskan,


وَلَوْ بَلَغَتْ هَذِهِ الْأَحَادِيث الشَّافِعِيّ لَقَالَ بِهَا إِنْ شَاءَ اللَّه


“Seandainya hadits-hadits (yang melarang pakaian yang dicelup ‘ushfur) sampai pada Imam Asy Syafi’i tentu beliau akan menjadikannya sebagai dalil, insya Allah.”


Terdapat riwayat shahih dari Imam Asy Syafi’i, beliau sendiri mengatakan,


إِذَا كَانَ حَدِيث النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَاف قَوْلِي فَاعْمَلُوا بِالْحَدِيثِ ، وَدَعُوا قَوْلِي ، وَفِي رِوَايَة : فَهُوَ مَذْهَبِي


“Jika ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi pendapatku, maka beramallah dengan hadits tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.” Dalam riwayat disebutkan, “Pendapat (yang sesuai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tersebut itulah sebenarnya yang jadi pendapatku.”[3]


Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah bahwa memakai pakaian yang dicelup ‘ushfur adalah haram karena hukum asal larangan (dalam hadits) adalah haram. Adapun baju merah yang dikenakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka merah pada baju tersebut bukan karena menggunakan ‘ushfur namun karena dicelup warna merah dengan zat selain ‘ushfur.[4]


Pakaian yang Dicelup Za’faron


Mengenai larangan menggunakan pakaian yang dicelup za’faron disebutkan dalam hadits Anas yang muttafaqun ‘alaih (dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim). Anas berkata,


نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَتَزَعْفَرَ الرَّجُلُ


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki mencelup dengan za’faran.” (HR. Bukhari no. 5846 dan Muslim no. 2101)


Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Pendapat yang tepat, haram memamai pakaian yang dicelup ‘ushfur, begitu pula za’faron”.[5]


Sebagaimana dinukil oleh Al Baihaqi, Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku melarang laki-laki mengenakan pakaian yang dicelup za’faron. Jika pakaiannya seperti itu, aku perintahkan untuk dicuci.” Al Baihaqi lantas mengatakan, “Jika beliau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam larangan pakaian yang dicelup za’faron, maka untuk larangan pakaian yang dicelup ‘ushfur lebih pantas untuk diikuti.”[6]


Pakaian yang Bercorak Merah atau Kuning


Mengenai pakaian yang tidak polos merah atau kuning (bercorak dicampur dengan warna lain), dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebagaimana dikatakan oleh An Nawawi rahimahullah,


يجوز لبس الثوب الابيض والاحمر والاصفر والاخضر والمخطط وغيرها من ألوان الثياب ولا خلاف في هذا ولا كراهة في شئ منه قال الشافعي والاصحاب وأفضلها البيض


“Boleh menggunakan pakaian yang bergaris merah, kuning, hijau dan warna pakaian yang bercorak lainnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama. Warna pakaian yang bercorak semacam itu tidaklah makruh sedikit pun. Inilah yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya. Namun yang paling afdhol adalah mengenakan pakaian berwarna putih.”[7]


Bolehkah Memakai Pakaian Berwarna Kuning?


Jawabannya, asalnya boleh. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama karena pakaian kuning yang  terlarang apabila merupakan hasil celupan za’faron atau ‘ushfur sebagaimana disebutkan dalam penjelasan di atas.


Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan,


اتّفق الفقهاء على جواز لبس الأصفر ما لم يكن معصفراً أو مزعفراً


“Para pakar fiqih sepakat dibolehkannya memakai pakaian berwarna kuning asalkan bukan hasil dari celupan ‘ushfur atau za’faron.”[8]


Dari sini, jika pakaian kuning berasal dari zat warna sintetik seperti pada pakaian yang kita temukan saat ini, maka seperti itu tidaklah masalah. Wallahu a’lam.


Sedangkan sebagian orang menerjemahkan pakaian “mua’shfar” (yang dicelup ‘ushfur) dengan artian pakaian warna kuning, kami rasa ini keliru, karena ‘ushfur lebih dominan menghasilkan warna merah. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,


فَإِنَّ غَالِب مَا يُصْبَغ بِالْعُصْفُرِ يَكُون أَحْمَر


“Warna dominan yang dihasilkan oleh ‘ushfur adalah warna merah.”[9]


Bagaimana dengan Pakaian Merah Polos?


Ada dua macam dalil yang membicarakan masalah ini. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang.


Dalil yang melarang pakaian berwarna merah:


Hadits Al Baro’ bin ‘Azib, ia berkata,


نَهَانَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْمَيَاثِرِ الْحُمْرِ وَالْقَسِّىِّ


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami mengenakan ranjang (yang lembut) yang berwarna merah dan qasiy (pakaian yang bercorak sutera).” (HR. Bukhari no. 5838)


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,


نُهِيتُ عَنْ الثَّوْبِ الْأَحْمَرِ وَخَاتَمِ الذَّهَبِ وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ


“Aku dilarang untuk memakai kain yang berwarna merah, memakai cincin emas dan membaca Al-Qur’an saat rukuk.” (HR. An Nasai no. 5266. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)


Dalil yang membolehkan pakaian berwarna merah:


Hadits Al Barro’ bin ‘Azib, ia berkata,


كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَرْبُوعًا ، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), saya melihat beliau mengenakan pakaian (hullah) merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari no. 5848)


Dalam riwayat Muslim, Al Barro’ bin ‘Azib mengatakan,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ -صلى الله عليه وسلم-.


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berperawakan sedang, perpundak bidang, rambutnya lebat terurai ke bahu hingga sampai kedua cuping telinganya. Pada suatu ketika, beliau pernah mengenakan pakaian (hullah) berwarna merah, tidak ada seorangpun yang lebih tampan dari beliau” (HR. Muslim no. 2337)


Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,


كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يلبس يوم العيد بردة حمراء


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengenakan burdah (kain bergaris) berwarna merah ketika shalat ‘ied.”[10]


Dalil-dalil yang menyebutkan bolehnya pakaian berwarna merah  di sana menggunakan kata “hullah” dan “burdah”. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud burdah dan hullah adalah pakaian yang bergaris merah dan bukan pakaian merah polos.


Ibnul Qayyim mengatakan,


كَانَ بَعْض الْعُلَمَاء يَلْبَس ثَوْبًا مُشْبَعًا بِالْحُمْرَةِ يَزْعُم أَنَّهُ يَتْبَع السُّنَّة ، وَهُوَ غَلَط ، فَإِنَّ الْحُلَّة الْحَمْرَاء مِنْ بُرُود الْيَمَن وَالْبُرْد لَا يُصْبَغ أَحْمَر صِرْفًا


“Sebagian ulama ada yang memakai pakaian merah polos (merah seluruhnya) dan menganggapnya sebagai sunnah. Sungguh ini adalah keliru. Yang dimaksud “hullah” berwarna merah adalah burdah (pakaian bergaris) dari Yaman dan burdah di sini bukanlah pakaian yang dicelup sehingga berwarna merah polos (merah keseluruhan).”[11]


Sehingga yang tepat dalam masalah ini, pria boleh menggunakan pakaian berwarna merah asalkan tidak polos (tidak seluruhnya berwarna merah). Namun jika pakaian tersebut seluruhnya merah, maka inilah yang terlarang. Inilah pendapat yang lebih hati-hati dan lebih selamat dari khilaf (perselisihan) ulama.


Sedangkan untuk wanita boleh menggunakan pakaian dengan warna apa saja asalkan bukan warna yang nantinya akan menjadi perhiasan diri di hadapan non mahrom.[12] Adapun yang kita bicarakan pada kesempatan kali ini adalah warna pakaian terlarang bagi pria.


Alhamdulillah, berkat taufik Allah kami diberikan kemudahan mendapatkan titik terang dalam masalah ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


 


Diselesaikan menjelang Jum’atan di Panggang-GK, 26 Rajab 1431 H (09/07/2010)


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel www.rumaysho.com



[1] Lihat Fathul Bari, 10/305.


[2] Tulisan ini, kami banyak ambil faedah dari penjelasan Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah dalam situsnya Al Islam Sual wa Jawab (http://islamqa.com/ar/ref/72878 dan http://islamqa.com/ar/ref/8341 )


[3] Lihat penjelasan di atas sampai dengan perkataan Al Baihaqi dan Imam Asy Syafi’i dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/54-55.


[4] Ma’alimus Sunan, 4/179.


[5] Syarhul Mumthi’, 2/218.


[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/55.


[7] Al Majmu’, 4/452.


[8] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/2051.


[9] Lihat Fathul Bari, 10/305.


[10] Diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Awsath (7/316).  Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (2/233-234) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh.


[11] Fathul Bari, 16/415.


[12] Lihat penjelasan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (16/123).



Kamis, 01 Maret 2018

RUKHSOH PUASA BAGI BUMIL & BUSUI

Mudahnya Islam.

Dibolehkan bagi ibu hamil dan menyusui untuk memilih, shaum ramadhan atau bayar fidhyah saja.


Jangan takut tidak afdhol. Seperti anggapan sebagian manusia.

Karena ini rukhshoh/keringanan yang Allah kasih.

Dan Allah maha tau yg terbaik utk hambaNya.

Bagi dunia dan akheratnya.

Jangan akal2an, membantah dalil dan meremehkan ibu2 yg mengambil rukhshoh yg Allah kasih. 

Kalo memang anda tidak merasa lbh tinggi dr Allah.


Karena yg menentukan afdhol tidaknya itu adalah Allah, sesuai syari'atnya. 

Bukan kita, bisa jadi puasa kita yg malah ga afdhol krn meremehkan orang lain.

Dari pada dia yg mengambil rukhshoh dengan ikhlas karena menjalani syari'atNya.


Bayar fidyah aja ya, ga usah diqodho.

Ini pendapat yang lebih kuat.

Simak penjelasan ilmiyahnya ya...

______________________


Sekedar mengingatkan, Ibnu Katsir di Muqaddimah tafsirnya mengatakan bahwa tidak sepantasnya kita menyebutkan ikhtilaf dan aqwal para ulama tapi kita kemudian tidak memberikan tarjihnya. Jadi, mari kita sama-sama belajar untuk itu. Kalau tidak bisa tarjih, ya cukup katakan menurut yang saya tahu berdasarkan pendapat ulama anu begini jadi kita harus begini. Adapun kalau pendapat lain saya tidak tahu. Cukup tanpa menyebutkan ada A, B, C dst tapi kemudian tidak menyodorkan tarjih atau mana yang rajihnya.


Kedua, Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat kerap mengingatkan kita untuk melakukan bahts. Tidak berhenti sampai apa kata Syaikh, namun terus menelusuri apa dibalik itu sehingga Syaikh bisa berkesimpulan seperti itu. Alasannya, jika kita berhenti sampai pada apa kata Syaikh, maka begitu Syaikh meninggal ilmu akan terputus bersamanya dan anak-anak kita hanya akan mewarisi kesimpulannya bukan dasarnya sehingga ketika kelak muncul hal serupa tapi tak sama seiring perkembangan peradaban manusia, kebingungan lah yang ada. Wal ‘iyadzu billah.


Adapun berkenaan dengan mana yang rajih bagi hamil dan murdhi’ apakah (1) qadha atau (2) fidyah atau (3) qadha dan fidyah?


Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan permasalahan ini. Pendapat yang mu’tabar terbagi kedalam tiga:


(1) Wanita yang hamil dan murdhi’ (menyusui) boleh tidak berpuasa dan jika demikian mereka wajib qadha saja

(2) Wanita yang hamil dan murdhi’ boleh tidak berpuasa dan jika demikian mereka wajib membayar fidyah saja tanpa qadha

(3) Orang yang hamil dan murdhi’ boleh tidak berpuasa dan jika demikian mereka wajib qadha dan membayar fidyah


Al-Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur’an membawakan hal ini dengan menyebutkan siapa shahabat yang berpendapat demikian. Ali bin Abi Thalib untuk (1), Ibnu Abbas untuk (2) dan Ibnu Umar untuk (3).


Mari kita mulai pembahasan dari ayat yang ada:


(1) Allah berfirman: “Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka (ia membayar) fidyah (dengan cara) memberi makan orang miskin” (Al-Baqarah: 184)


Pada awal mula diperintahkannya puasa seperti dalam ayat 183-184 ini, orang diberi kebebasan memilih, kalau mau berpuasa silakan kalau tidak berarti harus memberi makan orang miskin sebagai gantinya (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Namun demikian, hukum yang terkadung di ayat 184 ini kemudian dimansukh dengan ayat berikutnya (185) yang mengatakan: “Siapapun yang mendapati bulan (Ramadhan) maka ia harus berpuasa.” Silakan lihat penjelasan mansukhnya ayat 184 oleh ayat 185 ini di buku Shifat Shoum Nabi oleh Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali.


(2) Allah berfirman: “Maka barangsiapa yang sakit atau sedang safar, (dia boleh tidak berpuasa) dan membayarnya di hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (Al-Baqarah: 185)


Berdasarkan kedua ayat ini maka disimpulkan bahwa semua kaum muslimin wajib berpuasa, dan keringanan untuk tidak berpuasa hanya berlaku bagi orang yang sakit dan orang yang dalam keadaan safar. Dan sebagai kompensasinya, mereka harus membayarnya di hari lain (qadha’).


Namun kesimpulan ini terlalu dini, karena ada riwayat Abu Dawud dan Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas dan Mu’adz bin Jabbal, bahwa hukum “bagi yang tidak mampu maka (ia membayar) fidyah kepada orang miskin” tetap berlaku, hanya berlakunya itu adalah bagi pria yang sudah tua, wanita yang sudah tua serta wanita hamil dan murdhi’. Kedua riwayat ini shahih adanya.


Dengan demikian, maka kesimpulan lanjutannya adalah:


Semua kaum muslimin yang mendapati bulan ramadhan wajib berpuasa. Kewajiban ini dikecualikan bagi:


– Musafir dan orang sakit, keduanya boleh tidak berpusa tetapi harus menggantinya di lain hari (qadha).


– Orang tua, wanita hamil dan menyusui (murdhi’), mereka boleh tidak berpuasa tetapi harus menggantinya dengan cara memberi makan orang miskin sejumlah harinya (fidyah).

Sampai disini jelas lah permasalahan.


Namun jika demikian kesimpulannya, kenapa ada pendapat yang mengatakan harus qadha -baik menyendiri hanya qadha ataupun dibarengi dengan fidyah- ?


Jawabnya, qadha dan fidyah adalah ibadah, dan al-aslu fil ‘ibadati at-tauqifiyyah. Jadi, mana dalilnya kalau qadha ikut berperan dalam bolehnya wanita hamil dan murdhi untuk tidak berpuasa? Kalau memang ada dalil tentu kita nyatakan demikian, kalau tidak ada dalil berarti kembali pada kesimpulan di atas.


Mereka yang berpendapat qadha sangat bertanggung jawab, apa yang diyakini berpijak pada dalil sebagi berikut:


Hadits riwayat An-Nasa’i dari Anas bin Malik: “Sesungguhnya Allah mengangkat (kewajiban) dari musafir setengah sholat dan dari wanita hamil serta menyusui (kewajiban) puasa.”

Hadits ini shohih adanya. Hadits ini juga merupakan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa.

Dari hadits ini, mereka beristidlal bahwa posisi musafir dan wanita hamil serta menyusui ini sama karena adanya dilalah iqtiran di sana . Dengan demikian maka kompensasinya sama yaitu harus mengganti di lain hari karena musafir apabila tidak berpuasa ia harus menggantinya di lain hari (qadha).


Mereka juga menggunakan qiyas dengan orang sakit. Oleh karena orang sakit apabila tidak berpuasa harus menggantinya di lain hari (qadha’), maka demikian juga halnya dengan wanita hamil dan menyusui.

Dengan demikian, jelaslah dalil/alasan pendapat tentang wajibnya qadha’ bagi wanita hamil dan menyusui.


Lalu pendapat ketiga bagaimana, yaitu tentang wajibnya qadha dan fidyah? Ini lebih mudah, mereka mencoba menggabungkan kedua pendapat di atas. Dan ini benar. Dalam arti, ketika kita menjumpai seolah ada beberapa dalil/pendapat yang terkesan bertentangan, solusi pertamanya adalah kita coba thariqatul jam’i, kita coba gabungkan. Kalau ternyata tidak bisa karena memang jelas kontradiksinya dalam kondisi bagaimanapun baru kita lakukan tarjih (adu unggul).


Penggabungan ini dirinci dalam beberapa kondisi. Namun apapun kondisinya itu semuanya berpulang pada benar tidaknya istidlal tentang wajibnya qadha bagi wanita hamil dan menyusui tersebut. Jika benar, maka pendapat penggabungan itu mungkin lebih tepat. Jika ternyata tidak, maka kita kembali ke semula, yaitu hanya fidyah.


Berarti masalahnya, benarkah istidlal mereka yang berpendapat wajibnya qadha?

Jawabnya, dengan istidlal seperti tersebut di atas, maka konsekuensinya mereka harus membuktikan bahwa semua riwayat Abu Dawud, Baihaqy, dan Daruqhutni tentang membayar fidyah itu adalah dho’if / lemah.


Kenapa? Karena istidlal ini kontradiksi dengan kedua riwayat itu, yakni dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sekiranya riwayat-riwayat ini memang dho’if, tentu yang rajih adalah pendapat wajibnya qadha, sebab qiyas dengan orang sakit adalah benar dan dilalah iqtiran dengan musafir juga jelas.


Namun ternyata tidak demikian kenyataanya. Semua riwayat itu shahih, dan jelas bertentangan dengan istidlal mereka yang mengatakan wajibnya qadha.


Perincinnya:


(1) Riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas: “Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya”.


(2) Riwayat Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar:

“Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha”.

“Berbukalah dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha.”

Dalam jalan lain dikatakan bahwa anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan sedang hamil. Dia merasa kehausan ketika puasa Ramadhan, maka Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.


(3) Riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu Umar bahwa beliau ditanya tentang wanita hamil yang khawatir akan kandungannya: “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.”

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa pendapat wajibnya qadha dengan istidlal seperti tersebut di atas adalah tidak tepat, kecuali -sekali lagi kecuali- kalau riwayat-riwayat perinci tersebut tidak shohih alias dho’if.


Adapun qiyas dengan orang sakit, tidak bisa dilakukan karena telah datang riwayat yang jelas dan menerangkan tentang kedudukan dan kondisi wanita hamil dan menyusui ini. Sekali lagi juga, jika semua riwayat itu dlo’if tentu qiyas ini benar adanya. Dan segera kita katakan bahwa yang wajib adalah qadha’.


Dengan demikian, tampaklah cahaya terang bagi kita dan jernihlah segala kekeruhan yang ada, walhamdulillah, bahwa yang rajih berdasarkan dalil-dalil yang ada adalah bagi wanita hamil dan menyusui diberikan keringanan untuk tidak berpuasa dan mereka harus menggantinya dengan membayar fidyah kepada orang miskin sejumlah hari di mana mereka tidak berpuasa. Tidak ada kewajiban qadha’ bagi mereka karena tidak ada dalil yang mendasarinya.


Hadits Ibnu Umar di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan apakah wanita hamil berbuka karena khawatir terhadap dirinya atau anaknya atau keduanya, semuanya sama cukup dengan membayar fidyah.


Untuk lengkapnya, silahkan membaca di forum ini

Ditulis oleh : Abu Ishaq As-Sundawy

Sumber : 


https://aslibumiayu.net/19363-ibu-hamil-dan-menyusui-jika-tidak-puasa-maka-wajib-membayar-fidyah-saja-dan-tidak-mengqadha.html

Senin, 07 Maret 2016

Keju Mozzarella atau Quick Melt (KW2an / Abal2 )

Keju Mozzarella atau Quick Melt (KW2an / Abal2 ) Tapi enaaaak....


Betapa beruntungnya jaman yang serba canggih seperti saat ini, g perlu repot2 
mencari resep masakan. Apa yang kita mau tingga ketik di Google 
dan keluarlah seabrek2 resep dan tinggal pilih mana yang sesuai dengan keinginan.

Seperti di group memasak yang saya ikuti, disitu lagi heboh pembuatan 

keje mozza abal2 alias kw2an temansss, ya namanya juga saya kan, 
suka mencoba hal baru dan tertantang aja rasanya alias kabitaan, 
liat si A bikin ini, pengen juga bikin dirumah. Maksudnya biar g 
penasaran. Walaupun nanti hasilnya gagal atau berhasil 
yang penting saya sudah mencoba. Kalau enak dan berhasil 
ya syukur, kalau g berhasil ya cukup dijadikan pengalaman dan 
itung2 tambah ilmu kan.

Nah seperti keju mozzarella ini, karena lagi rame pada bikin trus dipamerin di group waaaah saya jadi penasaran gimana sih rasanya dan hasilnya kezu mozzarellah homemade ini, apakah sama seperti keju mozzarella yang mihil itu. Kalau g dicoba kan kita g akan tau. Jadi tanpa sengaja pas kepasar senen bulan lalu (udah bulan lalu ya... lama bangettt), saat nemanin Ail beli cemilah di salah satu toko, disitu terpampang nyata susu real good sweet cheese, trus langsung keingatan sama resep  keju mozzarella yang saya simpan di note hp saya, yang katanya lebih enak jika menggunakan susu UHT ini (tapi kalau g punya dan g ketemu susu ini, bisa diganti dengan susu UHT biasa ya..). Langsung deh beli 5 bungkus.


Sampai dirumah masih belum tau mau dieksekusi kapan hahaha, yang penting susunya sudah ada yeeey, hingga akhirnya barulah 2 hari yang lalu saya bisa eksekusi keju mozzarella homemade ini. Bahan2nya bisa dilihat seperti pada foto dibawah ini.


180 gram keju prochiz (bekukan utuh selama 24 jam)

300 ml susu UHT real good sweet cheese / susu UHT biasa
1 bungkus nutrijell *plain (tanpa rasa)
3 sdm tepung maizena (cairkan dengan sedikit susu uht)
2 bks susu kental manis
1/4 sdt garam

Iya... cuma dengan 6 bahan diatas, kita bisa bikin keju mozzarella rumahan. Btw untuk rasa... Sungguh enaaaaaaaak bingit, pengen dicemil terus rasanya wkwkwkw, cuma kalau untuk tekstur ngaret (khasnya mozzarella) hasil yang saya bikin tidak ngaret2 banget, mungkin nanti kapan2 aku tunjukin ya hasil fotonya buat dijadikan toping pizza, tapi quick meltnya sih lumayan dapat teman (makanya kita bilang aja ini semi keju mozzarella dan keju quick melt ya...). Tapi walaupun g bisa seidentik keju mozza saya tidak menyesal ko bikin keju homemade ini, karena bisa diaplikasikan kejenis makanan atau cemilan apa saja, seperti kemarin saya sudah coba bikin untuk isian nangka goreng crispy isi keju *quickmelt ini, hasilnya sungguh enaaak, keju didalamnya lumeeer. Trus kemarin saya bikin untuk toping pinggiran pizza buatan  Ayah, waaah enak juga lho, dan masih banyak cemilan atau menu lain yang bisa kita buat dengan keju mozza atau quickmelt homemade ini, saya sih sudah kebayang buat bikin amris, puding roti panggang, isian roti dan masih banyak lagi deh. Kemarin hasil timbangan setelah keju ini jadi beratnya sekitar 600gram, lumayan khan, ntar kalau kejunya sudah habis saya mau bikin lagi, lumayan buat stock, simpan di freezer lebih awet dan tahan lama.

Step by stepnya bisa lihat foto dibawah ini ya...



Siapkan bahan2nya 

Parut keju yang beku dengan parutan keju

Kemudian campurkan semua bahan, aduk hingga rata

Naikkan keatas kompor, nyalakan api (kemarin saya benar2 menggunakan api yang paling kecil)

Aduk terus hingga menjadi kental


Biarkan sampai muncul letupan2 kecil dari dasar panci sambil terus diaduk

Setelah proses pemasakan selama 20 menit kurang lebih, hasilnya akan seperti ini
Ngaret, melar dan kalis, lalu matikan api

Siap dicetak, setelah dingin baru masukkan kedalam freezer

Dan taraaaaa hasilnya seperti ini... Enaaak banget
AWAS KETAGIHAN!!!

Resep aslinya bisa teman2 lihat disini ya *Keju Mozzarellah ala Bunda Liza Rezeki Dosinta Yudho.

Selamat mencoba temansss...


Kamis, 10 September 2015

pengungsi SYIRIA & ARAB


Yang bertanya2 ttg peran Saudi thd pengungsi Suriah......
"Lebih dari 500,000 warga Suriah telah masuk Saudi sejak meletusnya revolusi di Suriah, sejak Lima tahun lalu hingga sekarang. Tapi mereka tidak disebut dan diperlakukan sebagai pengungsi, karena diberikan iqomah (izin tinggal dan kerja).
Sebelum tahun 2011, warga Suriah yang tinggal di Saudi berjumlah 250,000 jiwa. Kini pada tahun 2015 berjumlah 750,000 jiwa. Plus ada 100,000 pelajar Suriah yang diizinkan bergabung di sekolah2 Saudi secara gratis. Ditambah lagi kemudahan bagi warga Suriah yang mukim di Saudi mendatangkan keluarganya ke Saudi.
Catatan:
Kebijakan ini sudah dilakukan sejak awal krisis Suriah, jauh sebelum eropa teriak2 menampung pengungsi Suriah. Dan cara yang sama juga diberlakukan kepada warga negara yang mengalami kondisi serupa, seperti warga Palestina dan Burma. Itu belum termasuk bantuan dana langsung ke beberapa kamp pengungsi spt di Yordania dan Lebanon.
Jadi, di Saudi memang tidak ada kamp pengungsi Palestina atau Suriah.... Karena mereka diperlakukan lebih dari sekedar pengungsi.....Wallahu a'lam.



Rabu, 22 Juli 2015

French Toast (roti bakar ala perancis)


French Toast (roti bakar ala perancis) :

Bahan :
8-10 lembar roti tawar (1 porsi perlu 2 lembar)
90 ml susu cair
10 ml air
30 gr susu kental manis
15 gr mentega
2 sdt tepung terigu

Celupan :
1 butir telur
2 sdm susu cair

Cara :
Buat custard :
- aduk rata tepung + susu kental manis
- rebus susu cair + air sampai mendidih
- tuang susu cair ke adukan tepung, aduk rata sampai larut semua
- rebus kembali pakai api kecil sambil terus diaduk sampai meletup2
- angkat & dinginkan dikulkas 30 menit

- oles custard ke roti, tutup dengan roti lagi
- celup / oles kedalam kocokan telur + susu cair
- goreng di teflon dengan sedikit minyak

Sajikan selagi hangat.



https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207039990896660&set=gm.649965978473622&type=1&theater

Selasa, 14 Juli 2015

Fried Mac and Cheese

nyimpen resep lagi T.T
nyimpen mulu, kapan eksekusinya

Fried Mac and Cheese
Ingredients
  • 1 lb Macaroni
  • 2 (8 oz) Packages of Sharp Cheddar Cheese Chunk
  • 1 3/4 cup Milk
  • 1/2 cup Flour
  • 1/4 cup Butter
  • 2 Eggs
  • 3 cup Seasoned Bread Crumbs
  • Salt & Pepper to taste
  • Vegetable Oil (for frying)
Instructions
  • Boil macaroni until tender, drain and set aside.
  • Shred your cheese and set aside.
  • In a large pan, melt butter over medium heat.
  • Add flour and mix until light brown color (make a roux).
  • Add 1 cup milk and whisk until thick.
  • Add cheese one hand full at a time.
  • Mix until cheese is all melted and smooth.
  • Add cooked macaroni to pan and mix until well coated.
  • Add salt and pepper.
  • Transfer to container that will fit in your refrigertor, and refigerator for 1 hour or until cold.
  • Line a baking sheet with wax or parchment paper.
  • Form cold macaroni and cheese into 1" balls and place on prepared pan.
  • Place in freezer for 1 hour.
  • Beat eggs and add 1/4 cup milk in a bowl to make egg wash.
  • Dip balls into egg wash then roll in bread crumbs to coat completely.
  • Heat oil in deep fryer to 320 or fill skillet 1/2-3/4" deep and heat over medium high to 320.
  • Fry for about 3-4 minutes and drain.


http://cincyshopper.com/fried-mac-cheese/

Jumat, 10 Juli 2015

RESEP Fusilli Cheese Cream

tempellllllll

Fusilli Cheese Cream

Bahan – bahan :

125 gr fusilli
1 sdm mentega
1 buah bawang Bombay cincang halus
1 sdm tepung terigu
250 ml susu cair
Garam secukupnya
½ sdt merica bubuk
Sosis sesuai selera
Kornet sesuai selera
150 gr keju cheddar parut
Peterseli secukupnya untuk taburan
Cara membuat :

Rebus fusilli hingga matang
Di tempat terpisah, panaskan mentega lalu tumis bawang bombai yang sudah dipotong halus sampai harum. Masukkan tepung terigu, aduk hingga tepung matang. Matikan api, tuang susu sedikit demi sedikit sampai semuanya rata. Lalu, masak lagi di atas api kecil dan masukkan garam, merica dan keju parut. tambahkan sosis dan kornet yang sudah dimasak terlebih dahulu. Matikan api.
Masukkan fusilli, aduk sampai rata.
Tata dalam piring saji dan taburi peterseli secukupnya. Sajikan selagi hangat dengan tambahan saus tomat atau saus sambal sesuai selera.

https://restirs.wordpress.com/2013/10/13/tulisan-fusilli-cream-cheese/