wanita biasa, yg ingin bahagia | Cuma kumpulan kopi paste, mengikat ilmu, kalo lupa tinggal nyari =)


Rabu, 23 Juni 2010

Sinetron Mengepung Kita [MILIS SEKOLAH RUMAH]

Masyarakat Anti Program Televisi Buruk (MAPTB)





Sinetron Mengepung Kita


Oleh: Chairul Akhmad





Diambil dari http://maptb/.
wordpress. com/2010/ 05/11/sinetron- mengepung- kita/





Beragam sinetron bertema anak dan remaja membanjiri layar


kaca televisi kita. Tema-temanya, tentang cinta, kekayaan, kekerasan.


Itu-itu aja. Saatnya berkata tidak pada sinetron kacangan.





…pada suatu kesempatan, Farel nembak Rachel. Sayang, Rachel


menolak cinta monyet Farel. Ia lebih senang apabila mereka berteman


saja. Apalagi mereka masih terlalu kecil untuk pacaran. Meskipun


kecewa, Farel akhirnya menghargai dan mau menerima jawaban tersebut.


Farel tidak pernah tahu, kalau Rachel sebenarnya ingin menjadi


pacarnya….





Bagi kamu-kamu yang doyan nonton sinetron di televisi, mungkin


adegan dan sinopsis cerita di atas sangat familiar buatmu. Ya, kisah


cinta monyet Farel dan Rachel yang masih pada bau kencur itu adalah


salah satu tayangan sinetron favorit di SCTV. Sinetron berjudul Heart


Series yang dijiplak dari versi film layar lebarnya itu mempertontonkan


suguhan yang tidak mendidik banget. Bayangin aja, pacaran anak SD!





Selain Heart Series, masih ada segudang sinetron lain dengan tema


serupa yang ditayang SCTV, misalnya My Love (sama dengan Heart, ini


juga jiplakan dari film layar lebar), Romantika Remaja, Roman Picisan,


Dewa Asmara…bla….bla…bla… Yang ujung-ujungnya, cinta buta, cinta


monyet, cinta gila dan laennya.





Selain SCTV, stasiun televisi yang juga doyan ngegeber sinetron


adalah RCTI. Sinetron remaja dan anak-anak di televisi tertua di


Indonesia itu antara lain, Hey Cantik, Pengantin Remaja, Rome Juliet,


Kakak Iparku 17 Tahun, Kawin Muda, de el el. SCTV dan RCTI memang


dikenal sebagai pemasok sinetron terbesar di jagad pertelevisian Bumi


Pertiwi. Prime time (istilahnya waktu utama nonton) keduanya hanya diisi
sinetron melulu.


Bayangin aja hampir tiap hari dari jam 18.00 ampe jam 22.000 malem,


SCTV dan RCTI berlomba-lomba pamer sinetron. Pada acara prime time itu


tak kurang dari empat sinetron ditayangin. RCTI menyebut acaranya


dengan istilah Mega Sinetron (untung bukan Mega Mendung), sedangkan


SCTV mengusung judul Gala Sinetron. Wuih…wuih…yang jelas dari judulnya


yang ‘mega’ dan ‘gala’, kesannya tuh sinetron sangat bagus banget. Tapi


nyatanya, tak jauh dari masalah cinta, kekayaan dan umbar pamer


(glamoritas) .





Selain itu, nih yang paling penting, sinetron-sinetron kita itu juga


tak jauh bedanya deh dengan konsep film-film India. Tapi memang ini


bisa dimaklumi kok, karena kebanyakan produsernya adalah orang-orang


India. Katanya sih, dinasti Punjabi gitu.





Tentang glamoritas, tak heran, jika anggota DPR RI, Ali Mochtar


Ngabalin, dan beberapa anggota DPR yang lain (di bidang informasi)


merasa prihatin dengan tayangan-tayangan televisi yang bernuansa


glamoritas, pembodohan publik, dan kekerasan terhadap perempuan dan


anak-anak.


Sebagai anggota Komisi I DPR RI, Ngabalin menghimbau agar masalah


melindungi masyarakat dari dampak negatif tayangan sinetron dan program


negatif televisi lainnya bukan hanya monopoli DPR saja, tetapi juga


kalangan akademis, praktisi media, pemerintah, aktivis, para pendidik,


para pengelola televisi, dan masyarakat secara luas. Dan yang lebih


terkait adalah Lembaga Sensor Film (LSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia


(KPI).





Imbauan ini bukannya tanpa alasan, sebab yang namanya tayangan


televisi itu sangat berpengaruh dan berdampak pada pemirsanya. Separuh


hidup kita dibenamkan dalam tayangan-tayangan yang membuai imaji,


ilusi, dan impresi. Nikmat memang menjalani hidup dengan “si kotak


ajaib” ini, ia membantu kita melepaskan realitas yang terjadi pada diri


kita. Bius program-programnya menghantarkan kita ke alam antah berantah


yang tak pernah kita sentuh, bahkan kita bayangkan. Kita juga harus


mengakui, bahwa tayangan sinetron memberikan peluang untuk terjadinya


peniruan perilaku, apakah itu positif atau negatif.





Perilaku di sini dipahami sebagai manifestasi dari proses psikologis


yang merentang dari persepsi sampai sikap. Suatu rangsangan dalam


bentuk sinetron dipersepsi kemudian dimaknai berdasarkan struktur


kognitif yang telah dimiliki seseorang. Jika tayangan tersebut sesuai,


rangsangan itu akan dia hayati yang menyebabkan pembentukan sikap.


Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot dan warna kepada pelaku.


Oleh sebab itu, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk melakukan


suatu tindakan (Supriadi, 1997:127).





Untuk kita ketahui bersama, rangsangan yang ditimbulkan oleh


televisi melalui program-programnya jauh lebih tinggi dibandingkan


dengan media cetak. Karena, pada televisi gambar-gambarnya bersifat
moving,


sedangkan media cetak bersifat statis. Menurut psikologi gambar yang


moving dapat “tertanam” dalam benak kita dalam tempo lama sekali. Makin


besar daya pikatnya atau rangsangan yang ditimbulkannya, makin dalam


pula dampak yang ditimbulkannya. Artinya, kita akan sering teringat dan


membayangkannya (Lesmana, 1997:139).





Dampak Negatif Televisi





Tahu gak, ternyata kebanyakan nonton televisi itu berpengaruh juga


pada penguasaan bahasa seseorang. Sebuah studi yang dilakukan The


National Opinion Research Center sejak 1974-1990 menemukan bahwa


menonton televisi memperburuk kosakata, sedangkan membaca koran


memperbaikinya. Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia. Jika di


negeri maju aja televisi memundurkan budaya masyarakat, terutama


menurunkan kecerdasannya, bagaimana dengan pengaruh televisi di negeri


ini bagi generasi (anak-anak dan kaum remaja) kita?





Bahkan dalam sebuah penelitian yang melibatkan anak-anak dari


Kanada, Australia, Amerika dan Indonesia dalam hal menonton televisi


mendapatkan hasil menarik. Percaya atau tidak, anak Indonesia adalah


penonton televisi terlama, disusul Amerika, Australia dan paling rendah


Kanada. Bagaimana tidak, kita bangun tidur langsung nonton televisi,


mau tidur disempetin nonton televisi lagi. Jangan-jangan, ketika tidur


pun kita masih peluk televisi.





Berbagai tulisan, penelitian bahkan seminar-seminar, lokakarya,


simposium yang ditulis dan dibicarakan oleh para pakar dan para ahli


dibidangnya memperdebatkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh media


televisi. Tudingan miring mengenai kebobrokan televisi sebenarnya sudah


merebak sejak kelahirannya pada era 1950-an.





Konsumen media televisi tidak hanya para kalangan orang tua, dewasa,


remaja, tetapi juga dari kalangan anak-anak. Yang dikhawatirkan dari


kalangan orang tua adalah anak-anak yang belum mampu membedakan mana


yang baik dan buruk serta mana yang pantas dan tidak pantas, karena


media televisi mempunyai daya tiru yang sangat kuat bagi pertumbuhan


dan perkembangan anak-anak.





Mengingat sulitnya orang tua menjauhkan anak-anak mereka dari


televisi, ada baiknya orang tua melakukan pendampingan anak ketika


menonton dan memberikan penjelasan sebenarnya tentang apa yang


dilihatnya. Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh


karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri


dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa.





Apakah hasil percobaan maupun peniruannya benar atau salah, anak


mungkin tidak tahu. Di sinilah tugas orang tua untuk selalu memberi


pengertian kepada anak secara konsisten. Kebingungan anak karena


standar ganda yang diterapkan orang tua juga bisa teratasi kalau orang


tua memberi penjelasan kepada anak.





Maraknya tayangan adegan percintaan dalam dunia sinetron tanah air,


sebenarnya melahirkan benih-benih pornografi dan pornoaksi. Lihat aja,


ada adegan-adegan yang tidak santun dalam berpakaian, seronok, maupun


umbar aurat. Belum lagi cara bertutur kata yang tidak sopan. Akibatnya,


muncul perilaku konsumtif, materialis, egois, termasuk perilaku semau


gue pada diri remaja. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam sinetron


menjadi model yang begitu gampang ditiru anak-anak dan para remaja


ketimbang mengikuti apa yang diajarkan para guru di sekolah dan orang


tua di rumah.





Tidaklah salah kalau ada ungkapan bahwa televisi saat ini telah


menjadi sekolah utama bagi sebagian besar siswa, sedangkan sinetron


anak-anak dan remaja merupakan pelajaran favorit mereka. Rendahnya mutu


pendidikan kita belakangan ini lebih disebabkan tidak selektifnya


berbagai informasi yang dikonsumsi siswa didik di bawah umur.





Dalam kaitan itu, maka aspirasi publik yang menginginkan hadirnya


sebuah Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi perlu direspons.


Undang-undang ini diharapkan akan memberi kekuatan hukum dalam mencegah


meluasnya aksi-aksi pornografi dan pornoaksi di masyarakat.





Selain itu, tentunya kita sangat berharap agar pengelola stasiun


penyiaran televisi lebih baik dan mau mendengar serta memerhatikan


berbagai protes atau penilaian yang muncul dari berbagai kalangan,


dengan melakukan tindakan konkret ke arah yang lebih konstruktif dan


positif. Misalnya, mereduksi atau bahkan menghilangkan tayangan


sinetron yang bersifat glamor, kekerasan, dan mistis atau adegan


anti-sosial.





Melakukan pembatasan, baik terhadap isi (content) maupun akses


penonton terhadap tayangan sinetron yang “gak mutu” melalui aturan atau
self censorship yang kuat dari pihak stasiun televisi. Dan yang paling
penting, jangan mau diperbudak sinetron!